Eks Direktur RSUD Lombok Utara Terdakwa Korupsi Proyek Ruang ICU Divonis 5 Tahun Penjara
MATARAM - Majelis hakim menjatuhkan vonis lima tahun penjara kepada mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Lombok Utara dr. Syamsul Hidayat dalam perkara korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU tahun 2019.
Hakim Ketua Sri Sulastri dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menyatakan Syamsul Hidayat secara bersama-sama dengan terdakwa lain terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi proyek yang masuk dalam masa rehabilitasi pascagempa Lombok tahun 2018.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Syamsul Hidayat dengan hukuman lima tahun penjara," kata Sri Sulastri dilansir ANTARA, Senin, 24 Oktober.
Selain pidana penjara, terdakwa Syamsul Hidayat juga dijatuhkan pidana denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Hakim menyatakan perbuatan terdakwa Syamsul Hidayat bersama terdakwa lain terbukti bersalah sesuai dakwaan primer penuntut umum. Dakwaan tersebut berkaitan dengan pasal 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu pertimbangan yang memberatkan hakim menjatuhkan hukuman itu adalah melihat kerugian negara yang timbul dalam perkara tersebut senilai Rp1,87 miliar.
Nilai kerugian yang disampaikan hakim lebih tinggi dari bukti audit Inspektorat NTB sebesar Rp1,57 miliar. Keputusan hakim menyatakan nilai kerugian lebih tinggi dari hasil audit, melihat denda keterlambatan pekerjaan yang sedikitnya bernilai Rp300 juta.
Namun, untuk pihak yang membayar uang pengganti dari kerugian negara tersebut, hakim membebankan kepada terdakwa Darsito, penerima kuasa proyek dari kontraktor pelaksana PT Apro Megatama.
Hakim dalam putusan yang digelar secara terpisah, membebankan terdakwa Darsito untuk membayar uang pengganti kerugian negara dengan nilai sedikitnya Rp1,75 miliar. Angka tersebut adalah hasil pengurangan dari pengembalian kerugian negara pada tahap penyidikan senilai Rp170 juta.
"Apabila harta benda berharga milik terdakwa tidak cukup menutupi nilai uang pengganti maka terdakwa Darsito wajib menggantinya dengan pidana kurungan selama dua tahun," ujar Sri Sulastri.
Kepada terdakwa Darsito, hakim menjatuhkan hukuman pidana tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Hakim menyatakan perbuatan terdakwa Darsito terbukti bersalah sesuai dakwaan primer penuntut umum, yakni pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Darsito, dan Syamsul Hidayat sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), hakim juga menggelar sidang putusan untuk terdakwa Bakri, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek, dan Sulaksono, konsultan pengawas proyek.
Untuk terdakwa Bakri dan Sulaksono, hakim menjatuhkan pidana serupa dengan Syamsul Hidayat, yakni masing-masing pidana penjara lima tahun dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dengan adanya putusan tersebut, jaksa penuntut umum dalam sidang empat terdakwa yang digelar secara terpisah belum menyampaikan tanggapan.
Budi Tridadi yang mewakili tim jaksa penuntut umum hanya menyampaikan pikir-pikir untuk upaya hukum lanjutan dari putusan tersebut. Hal senada juga disampaikan para penasihat hukum dari empat terdakwa.
Baca juga:
Perkara korupsi proyek RSUD Lombok Utara yang ditangani Kejati NTB ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB. Muncul catatan kekurangan pekerjaan proyek dengan nilai kerugian Rp212 juta.
Kerugian itu muncul dalam status pekerjaan yang sudah diserahterimakan atau provisional hand over (PHO) berdasarkan berita acara Nomor: 61 PPK-Konstruksi/RSUD.KLU/II/2020, tertanggal 24 Februari 2020 dari pihak pelaksana proyek kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.
Pihak kejaksaan pun menindaklanjuti temuan BPK tersebut ke tahap penyelidikan. Sampai pada proses penyidikan, pihak kejaksaan memperoleh hasil audit inspektorat dengan nilai kerugian negara sekitar Rp1,57 miliar.
Proyek tahun 2019 ini dikerjakan oleh PT Apro Megatama yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengerjaan proyek tersebut menelan dana Rp6,4 miliar dari APBD Kabupaten Lombok Utara.