Ayah Merangkak dari Bawah, Anak lewat Atas: Beda Jokowi dan Gibran di Pilkada Solo

JAKARTA - Pemilihan wali kota (Pilwalkot) Solo 2020 menjadi salah satu yang paling disorot karena pencalonan putra Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka. Gibran seolah ingin mengulangi kejayaan orang tuanya yang pernah meraup suara sebanyak 91 persen di Pilwalkot Solo tepat satu dekade lalu. Cuman bedanya, bila Jokowi merangkak dari bawah, Gibran dianggap numpang popularitas sebagai putra presiden.

Sebelum terjun di dunia politik, Jokowi menjalani profesi sebagai pebisnis mebel selama 20 tahun. Ia mengaku tak pernah sama sekali membayangkan akan menjadi wali kota pada 2005. "Saya juga bingung," kata Jokowi singkat kepada BBC

Sementara itu bila dibandingkan dengan empat kandidat pada waktu itu, Jokowi bukanlah siapa-siapa. Malah semula tak banyak orang yang mengenalnya.

"Saya ingin sampaikan dalam Pemilu Wali Kota pada 2005, saya bukan orang terkenal di kota kecil Solo, kandidat ada 4 incumbent [petahana], ketua Kadin dan pengusaha terkenal, saya bukan orang terkenal," kata Jokowi.

Namun saat itu Jokowi bekerja keras dari pagi sampai subuh untuk menjalani kampanye. Dan dengan segala keterbatasannya pada waktu itu ia punya cara berbeda dalam berkampanye yakni menyambangi warga satu per satu atau door to door.

"Saya lihat dunia berubah. Apa yang saya lakukan pintu ke pintu door to door. Dari pagi sampai malam itu saya lakukan [kampanye] di kota kecil dan hasilnya semua orang kaget saya menang meski menangnya tipis 37 persen kan menang jadi wali kota," bebernya.

Setelah berhasil membawa perubahan di Kota Solo, Jokowi kemudian terpilih kembali dengan mendapat hasil suara 91 persen. Salah satu yang membuat namanya menjadi perbincangan nasional adalah karena ia berhasil memindahkan pedagang kaki lima, PKL, dari Taman Banjarsari ke Pasar Klitikan tanpa menimbulkan konflik.

Diikuti Gibran

Lebih dari satu dekade kemudian, jejak Jokowi di Pilkada Solo diikuti putranya, Gibran. Namun bedanya, bila Jokowi merangkak dari bawah, Gibran justru dianggap melangkah lewat "jalur khusus" sebagai putra seorang presiden di Pilkada Solo 2020. 

Gibran maju sebagai calon wali kota Solo dengan mendaftarkan diri melalui Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Jawa Tengah. Pasalnya, peluang dirinya untuk maju lewat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Solo sudah tertutup. 

Banyak pihak menyebut lolosnya Gibran menjadi calon wali kota tak lepas dari statusnya sebagai anak Jokowi. Ia dianggap mengandalkan aji mumpung dalam pencalonan ini. Sebab, kalau soal kapasitas, pengusaha kuliner ini dianggap baru anak kemarin sore di dunia politik. 

Seperti dikutip Tirto, Gibran mendapatkan restu dari Ketua Umum PDIP, Megawati. Partai penguasa ini menyingkirkan Achmad Purnomo, seorang kader senior PDIP sekaligus wali kota Solo yang telah dicalonkan oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC) PDIP. 

Gibran dianggap telah memotong kompas dengan mencari jalan lewat DPD PDIP. Ia juga sempat menemui Megawati sebelum hasil rekomendasi muncul.

Akhirnya, PDIP merestui Gibran, sementara Purnomo tereliminasi. Soal mekanisme pengusungan calon dari bawah dan senioritas kader seolah dianulir Megawati. 

Jalan Gibran

Tudingan adanya hak isitimewa sebagai putra presiden ditepis Gibran. Kata dia tak ada yang namanya jalan pintas, melainkan semua proses sudah ia lalui dengan caranya sendiri.

"Kalau dimudahkan apa sih yang dimudahkan? Semua proses kan sudah saya lalui semua persyaratan juga sudah saya penuhi, mulai dari proses pendaftaran, fit dan proper test internal, semuanya sudah saya lalui. Tidak ada tahapan yang saya lompati, tidak ada short cut," jelasnya saat diwawancara dalam program Mata Najwa.

Gibran juga mengatakan bahwa pencalonannya itu bukan dengan tangan kosong. Ia sudah berjuang dari bawah. Dan hasil kerjanya itu terbukti dalam sebuah survei yang dilakukan Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Seperti dinukil Kompas, survei dilakukan di 96 titik dengan 8 responden di tiap titiknya. Survei yang menguji elektabilitas itu lantas mendapuk Gibran sebagai tokoh yang paling popular.  

"Dari total jumlah responden, 90 persen mengenal Gibran," kata Ketua Laboratorium Kebijakan Publik Unisri Surakarta, Suwardi. Sementara Achmad Purnomo muncul di urutan kedua, dan adik Gibran, Kaesang, di posisi ketiga.

Berkat survei itulah Gibran percaya diri dan merasa siap untuk melenggang di bursa pemilihan wali kota Solo yang akan digelar 9 Desember mendatang. Pasangan Gibran dan Teguh Prakosa didukung oleh sembilan partai sekaligus yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, PAN, Nasdem, PSI, dan Perindo. 

Sementara itu lawan Gibran dan Teguh adalah Bagyo Wahyono dan Suparjo alias "Bajo". Bagyo adalah tukang jahit, dan Suparko karyawan lembaga pelatihan kerja. Mereka merupakan paslon yang diusung secara perseorangan atau independen. 

Bajo didukung oleh Yayasan Surya Nuswantara sebuah organisasi sosial budaya di Solo. Meski kans kemenangan mereka rendah, keberhasilannya mengumpulkan puluhan ribu dukungan riil dari setiap warga merupakan hal yang patut dipuji.

Hasil survei Indonesian Public Institute (IPI) misalnya mencatat elektabilitas antara Gibran-Teguh dengan pasangan Bajo di Pilwalkot Solo terlampau jauh. Menurut survei IPI, pasangan Gibran-Teguh dipilih responden sebanyak 49,7 persen, sedangkan pasangan Bajo hanya mendapat 1,6 persen saja. Sementara sisanya 48,7 responden belum menentukan pilihan atau undecided voters.