Meneladani Integritas Jenderal Hoegeng: Polri Harus Mampu Tingkatkan Kepercayaan Publik
JAKARTA – Apa yang terjadi jika orang seperti Hoegeng Iman Santoso menjadi Kapolri hari-hari ini? Masuk dalam birokrasi negara serta birokrasi kepolisian yang lazimnya dikenal feodal, tidak efisien, dan menoleransi penyimpangan. Khususnya, yang tidak serius ataupun perilaku menyimpang yang sudah memperoleh pembenaran secara budaya.
Bila, umumnya setiap orang yang masuk birokrasi akan menyesuaikan diri dengan situasi itu, tidak demikian halnya dengan Hoegeng. Bayangkan kekacauan yang akan timbul kemudian.
Profesor Dr. Adrianus Meliala, Kriminolog dan Guru Besar FISIP UI sempat menyampaikan itu dalam sekapur sirih buku ‘Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan’ oleh Suhartono yang terbit pada 2013.
Hoegeng memang dikenal sebagai pejabat yang memiliki integritas dan kejujuran. Menurut Soedharto Martopoespito (Dharto), mantan sekretarisnya semasa menjabat Menteri Sekretaris Kabinet Inti pada 1966, hak untuk mendapat pengawalan pribadi saja dia tak mengambilnya.
Padahal, itu merupakan fasilitas negara yang diberikan kepada para pejabat tinggi. Hoegeng merasa tetap bisa bekerja baik meskipun tanpa pengawalan.
“Hidup Hoegeng berserah saja, tak perlu dikawal-kawal. Kalau Hoegeng mau mati, ya mati saja. Tidak usah pakai pengawal atau penjaga di rumah,” kata Hoegeng seperti yang diceritakan Dharto dalam buku tersebut.
“Nanti, teman-teman Hoegeng tidak ada yang berani berkunjung ke rumah karena harus lapor lebih dulu ke petugas penjaga. Jadi, tidak usah, Mas Dharto. Biar saja bebas,” Hoegeng meyakinkan.
Hoegeng juga tidak mau sembarang menerima hadiah. Pernah dia mendapat hadiah mobil dari seorang pengusaha. Hadiah ini justru tak dilihat dan langsung diberikan ke orang lain.
Hoegeng mempertanyakan, apakah pantas dan laik menerima hadiah mobil dari pengusaha yang belum dikenalnya secara pribadi? Apalagi, jika dikaitkan dengan jabatan barunya sebagai Menteri Sekretaris Kabinet.
Begitupun semasa menjabat Kapolri periode 1968-1971, Hoegeng pernah menolak sejumlah pemberian hadiah. Putra Hoegeng, Didit mengisahkan sempat ada orang yang mengantarkan 2 sepeda motor Lambretta ke rumahnya. Lambretta merupakan salah satu merek scooter terkenal zaman itu.
Sebagai anak, Didit tentu merasa senang. Namun, sepulang dari kantor, Hoegeng langsung memerintahkan ajudannya mengembalikan motor tersebut. Meski sedih, Didit tak pernah berani mengutarakan kepada ayahnya.
Hoegeng berpendirian teguh dalam hal ini. Dia tidak suka bila ada orang yang sengaja mempengaruhi keluarganya. Semisal ketika Dharto menawarkan mobil dinas menteri yang akan dilelang kepada Hoegeng. Sudah ada pembeli yang berani dengan harga Rp 630 ribu. Bila Hoegeng yang membeli, harganya hanya Rp 150 ribu.
Dharto mendapatkan informasi itu dari Buang, pejabat yang berkantor di Kementerian Keuangan yang khusus mengurus kendaraan dinas.
Namun, meski sudah berkali-kali dibujuk, Hoegeng tetap teguh tak mau membelinya. “Mas Dharto, Hoegeng tidak mau beli mobil. Hoegeng hanya mau pinjam saja.”
Dharto kemudian berinisiatif menyampaikan tawaran itu ke istri Hoegeng, Meri. Maksud Dharto murni membantu mantan atasannya itu tanpa memiliki kepentingan mencari komisi atau hal lainnya. Namun, Hoegeng justru memarahinya.
“Mas Dharto jangan begitu ya. Hoegeng tidak mau Mas Dharto mempengaruhi istri Hoegeng. Meri jangan dipengaruhi dengan apa pun dan oleh siapa pun,” kata Hoegeng singkat.
Dari cerita singkat itu tak heran, bila Mantan Presiden ketiga Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah menyampaikan guyonan, “Hanya ada tiga polisi di Indonesia yang tidak bisa disuap: Patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.
Membenahi Diri
Pada era ini, mungkin sulit mencari pejabat, khususnya pejabat Polri sekaliber Hoegeng. Sederet permasalahan mulai dari keterlibatan peredaran narkoba, judi online, kekerasan, kesewenangan, pungutan liar, hingga gaya hidup mewah seolah terus menghantui. Bahkan, semakin melunturkan slogan Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Kasus Mantan Kadiv Propam yang diduga membunuh ajudannya menjadi catatan kelam. Guru Besar/Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Periode 2017-2021, Fauzul Iman dalam tulisannya di Kompas menganggap inilah citra buram Polri.
Kalau dibiarkan berlarut tanpa segera ada tindakan sistematis berupa pembenahan, pendidikan dan penghukuman secara adil, terbuka, menyeluruh, dan komprehensif, Polri akan ditinggalkan jauh dari kepercayaan masyarakat. Tidak mudah bagai membalikkan telapak tangan untuk mendapatkan ulang kepercayaan masyarakat.
“Apalagi para pelakunya para petinggi Polri yang berada di tugas strategis di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), lembaga yang sejatinya membangun keteladanan moral,” kata Fauzul Iman.
Presiden Jokowi juga tak henti-hentinya mengingatkan. Dalam pertemuannya dengan para perwira Polri pada Jumat (14/10), Presiden berharap institusi Polri bisa membenahi diri.
“Saya ingatkan yang namanya Kapolres, Kapolda yang namanya seluruh pejabat utama, perwira tinggi ngerem total, masalah gaya hidup, jangan gagah-gagahan karena merasa punya mobil bagus atau motor gede yang bagus. Hati-hati. Saya ingatkan hati-hati,” kata Jokowi.
Juga terkait pungutan liar dan kesewenangan. Menurut Presiden, ini harus diredam. Begitupun pendekatan-pendekatan represif harus dijauhi. Polisi adalah aparat penegak hukum yang paling dekat dengan rakyat. Ingatkan para anggota untuk terus melayani masyarakat secara tulus.
“Jangan sampai karena ketidakcepatan kita, rasa aman dan nyaman masyarakat menjadi terkurangi atau hilang. Karena apapun Polri adalah pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Hal-hal yang kecil-kecil tolong dilayani betul. Masyarakat kehilangan sesuatu harus direspon cepat, sehingga rasa terayomi dan rasa aman itu menjadi ada,” Presiden melanjutkan.
“Kalau ada sebuah peristiwa itu segera dirancang komunikasinya yang baik. Komunikasi publik itu penting banget. Jangan terlambat, jangan lamban. Kalau lamban nanti yang muncul isu-isu lain. Dunia sekarang ini gampang sensitif dan gampang tersulut. Untuk menumbuhkan optimisme harus menciptakan hal-hal yang baik dikontra dengan prestasi, komunikasi yang baik,” tambahnya.
Teten Masduki, pendiri Indonesia Corruption Watch dalam buku ‘Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan’ beranggapan, beruntung memiliki figur pemimpin nasional yang bersih dan sederhana seperti sosok Hoegeng.
“Sehingga, kita bisa menepis anggapan yang cenderung memberi pembenaran terhadap realis perilaku pejabat publik yang kotor sebagai sesuatu yang lumrah dalam kultur birokrasi di Indonesia. Sosok Pak Hoegeng adalah polisi pejuang, dan bukan produk akademi kepolisian seperti kebanyakan polisi sekarang.”
Baca juga:
- Memori Tentang Eksekusi Mata Hari, Mata-Mata Perempuan Terhebat Pada Masa Perang Dunia I
- Kuliah di STOVIA: Kaum Bumiputra Dilarang Gunakan Pakaian Ala Eropa
- Presiden Megawati Minta Pertanggungjawaban Kapolri atas Peristiwa Bom Bali I dalam Sejarah Hari Ini, 13 Oktober 2002
- Pesan Profesor Jan Klopper untuk Ir. Soekarno: Ijazah Tak Abadi