KPAI Segera Gelar Rapat Tentukan Sanksi Terhadap Guru yang Periksa Siswa Haid di SMAN Bogor
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan menindaklanjuti kasus guru meminta siswi membuka celana dalam untuk memeriksa haid di salah satu SMA Negeri di Bogor.
Komisioner KPAI Retno Listyarto mengungkapkan, pihaknya membuka peluang menjatuhkan sanksi kepada guru yang dimaksud berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anank dan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Sanksi dan penyelesaiakn terkait kasus ini akan didiskusikan terlebih dahulu dalam rapat koordinasi bersama Tim Itjen Kemendikbudristek dan Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat (Jabar).
"Langkah selanjutnya mencari solusi dan menuntaskan kasus ini, jika terbukti ada pelanggaran perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundangan," kata Retno dalam keterangannya, Senin, 3 Oktober.
Sejauh ini, KPAI telah menggali keterangan dari kedua belah pihak, yakni siswi yang menjadi korban dan orang tuanya, serta pihak sekolah atas kasus pemeriksaan haid.
Berdasarkan pengakuan ibu korban, putrinya mengalami dugaan kekerasan seksual dengan cara dikumpulkan dalam satu ruangan kelas. Seorang guru berjaga di depan pintu kelas, lalu meminta para siswi berdiri melingkar saling membelakangi.
Kemudian, dua guru lainnya berkeliling dan meminta siswi satu persatu membuka rok dan menurunkan celana dalamnya untuk membuktikan bahwa siswi tersebut sedang menstruasi, sehingga tidak mengikuti salat Dhuha berjamaah yang merupakan program Jumat Religi di sekolah.
Yang Retno persoalkan, peristiwa tersebut terjadi di sebuah sekolah negeri, bukan sekolah berbasis agama. Guru terduga pelaku seluruhnya perempuan, para guru tersebut juga bukan guru bidang studi Pendidikan Agama Islam, tetapi guru bidang studi Kimia dan Matematika.
“Salat Dhuha dalam agama adalah salat sunnah, bukan salat wajib, namun menjadi wajib atas nama program sekolah di SMA negeri ini. Sekali lagi, sekolah ini adalah sekolah negeri yang didirikan pemerintah, bukan satuan pendidikan berbasis agama. Jika anak didik memang ingin salat Dhuha, sekolah wajib memfasilitasi, bisa dilakukan sendiri, tapi bukan mewajibkan salat sunnah," jelas Retno.
Baca juga:
- Puan Maharani dan Prabowo Subianto Segera Bertemu Lagi, Gerindra: Wajar, Apalagi Mau Pilpres
- Mundur Dua Hari, Ferdy Sambo Cs Diserahkan ke Kejari Jaksel Rabu Depan
- NasDem Umumkan Capres 2024 Hari Ini, Usung Anies Baswedan?
- Sudah Gelar Perkara Dugaan Korupsi Formula E Tapi KPK Tegaskan Belum Ada Tersangka
Atas dasar itu, salah satu ibu korban menyatakan bahwa apa yang dialami putrinya merupakan bentuk pelecehan seksual yang dilakukan perempuan dewasa terhadap anak perempuan di bawah umur.
Retno berujar, para orang tua menceritakan kondisi psikis anaknya yang sangat terpukul sejak mendapatkan perlakuan tidak etis di sekolah lantaran tidak mengikuti salat Dhuha berjamaah karena sedang datang bulan.
“Kedua anak korban selalu menangis ketika membaca berita dan melihat TikTok atas peristiwa tersebut, tidak hanya merasa trauma karena dipermalukan dan direndahkan, namun juga tidak terima karena pemberitaan di media massa maupun di media sosial tidak seperti kejadian yang sebenarnya”, urai Retno.
Sementara berdasarkan keterangan guru yang melakukan pemeriksaan pada siswa itu, Retno menyebut kuat dugaan para guru tersebut hanya menjalankan tugas karena merupakan program sekolah.
"Karena saat ini cukup banyak sekolah negeri yang menyelenggarakan salat Dhuha berjamaah dengan alasan untuk mendidik dan membiasakan anak didik beribadah pagi," ungkapnya.