Kecam Penggunaan Gas Air Mata Saat Tragedi Kanjuruhan Malang, LaNyalla: Dilarang FIFA

JAKARTA - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyesalkan pola penanganan terhadap suporter yang turun ke stadion oleh polisi dengan menghajar dan menembakkan gas air mata.

Pasalnya, penanganan ini justru berimbas kepada penonton yang ada di tribun.

Akibat kepanikan massal dan dampak dari gas air mata, kata Lanyala, ratusan orang berdesakan keluar dari tribun dan menjadi korban.

"Larangan penggunaan gas air mata itu telah diatur FIFA dan tertuang pada Bab III tentang Stewards, Pasal 19 soal Steward di pinggir lapangan. Jelas ditulis; Dilarang membawa atau menggunakan senjata api atau gas pengendali massa," kata LaNyalla, dalam keterangan resmi, Minggu, 2 Oktober.

Mantan Ketua Umum PSSI itu juga menilai hal itu membuktikan lemahnya koordinasi.

Padahal, sebelum match, pasti ada rapat koordinasi (rakor) pengamanan antara Panpel dengan Kepolisian.

"Entah apa alasan yang membuat polisi menembakkan gas air mata ke tribun, sehingga membuat kepanikan massal," ucapnya.

Lebih lanjut, LaNyalla mengatakan, strategi evakuasi yang utama adalah mengamankan pemain, dan itu sudah dilakukan.

"Selanjutnya tinggal mencegah penonton melakukan perusakan atau saling serang antara dua kubu. Sambil semua pintu keluar dan jalur evakuasi dibuka untuk pengosongan stadion," tuturnya.

Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, pengosongan tribun dengan menembakkan gas air mata, jelas menyalahi aturan FIFA. LaNyalla menyebut peristiwa ini menjadi catatan kelam sepak bola nasional.

LaNyalla yang turut berdukacita atas peristiwa tersebut, meminta semua stakeholder sepak bola nasional melakukan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang.

"Kerusuhan sepak bola memang pernah terjadi. Tapi kejadian di Kanjuruhan ini sangat luar biasa, karena jumlah korban sangat besar. Sebuah catatan kelam bagi persepakbolaan nasional, bahkan dunia. Saya prihatin dan menyesalkan kenapa hal itu harus terjadi," ujarnya.

Sebelumnya, Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico Afinta mengatakan, kerusuhan pecah usai pertandingan Derby Jawa Timur yang mempertemukan Arema Malang dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Sabtu, 1 Oktober.

Adapun kerusuhan dipicu kekalahan tim tuan rumah Arema Malang.

Peristiwa ini dikabarkan membuat 130 orang meninggal dunia, 2 di antaranya anggota polisi. Diketahui 34 orang meninggal di stadion dan lainnya meninggal rumah sakit.