Banyak Hal Sudah Dilakukan Xi Jinping, Sehingga Dia Dijuluki Pemimpin Revolusioner China
JAKARTA - Rumor Xi Jinping akan kembali dinobatkan sebagai Presiden China untuk kali ketiga semakin menguat jelang kongres nasional Partai Komunis China yang akan digelar pada 16 Oktober 2022. Terlebih, beberapa waktu lalu, BBC memberitakan Parlemen China menyetujui pencabutan pasal di konstitusi yang membatasi jabatan presiden hanya dua periode.
Itu artinya, peluang Xi Jinping terpilih kembali sebagai presiden semakin besar. Xi Jinping pun secara tak langsung menyatakan siap, terlihat dari narasi yang disampaikan saat sesi studi pejabat tingkat provinsi dan menteri di Beijing pada Juli 2022.
“Kongres nasional ke-20 akan menawarkan prospek rencana strategis dua tahap untuk upaya membangun negara sosialis modern yang hebat dalam segala hal,” ucap Jinping.
Xi Jinping adalah seorang nasionalis yang gigih. Selama kepemimpinannya, China telah menjelma menjadi negara raksasa, khususnya dalam bidang ekonomi.
Bahkan, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, seperti yang diberitakan Financial Times pada Oktober 2017, menggambarkan Jinping sebagai sosok yang pintar dan ‘keras’.
“Cerdas, tangguh, penuh perhitungan, dan sangat berpengalaman,” tulis Financial Times.
Chris Buckley dalam tulisannya di The New York Times juga menyebut Xi Jinping sebagai pemimpin China yang paling kuat dalam beberapa dekade. Dia telah memenangkan dukungan publik yang luas untuk memerangi korupsi, mengurangi kemiskinan, dan memproyeksikan kekuatan China ke dunia.
“Namun, orang dalam partai yang berusaha menumpulkan dominasi Xi sebelum kongres dapat membidik kesalahan penanganan awal pandemi Covid atau merusak ketegangan dengan Amerika Serikat,” kata Chris.
Bila Xi Jinping kembali menjadi presiden, Chris menengarai dia akan meminimalisasi kesenjangan sosial melalui program kemakmuran bersama, mengurangi ketergantungan China terhadap teknologi impor, dan terus memodernisasi militernya untuk mempersiapkan potensi konflik.
Chris Buckley adalah kepala koresponden China dan telah tinggal di China selama hampir 30 tahun terakhir. Sebelum bergabung dengan The Times pada 2012, ia adalah seorang koresponden di Beijing untuk Reuters.
Dampak untuk Indonesia
Pengamat Politik Internasional dari Universitas Nasional, Hendra Maujana pun menilai, bila benar itu terjadi hubungan bilateral Indonesia dan China akan semakin erat. Nilai kerjasama yang akan tercipta tentu seharusnya akan lebih besar lagi.
“Pola hubungan bilateral Indonesia dan China akan bertahan. Kemungkinan, malah semakin erat. Proyek-proyek infrastruktur juga akan terus berlanjut,” kata Hendra kepada VOI, Selasa (27/9).
Terlebih, Presiden Jokowi juga sudah membahas peluang kerjasama tersebut ketika mengunjungi China pada 26 Juli 2022 dengan misi penguatan kerja sama ekonomi baik di bidang perdagangan maupun investasi.
"Kedua negara telah menjalin sinergi baru melalui empat pilar kerjasama yang meliputi politik, ekonomi, people-to-people exchanges dan proyek-proyek maritim, untuk mempromosikan semangat solidaritas dalam memerangi pandemi dan mencari pembangunan bersama, dan menunjukkan kemitraan antara dua negara berkembang utama," seperti tertulis dalam situs Kementerian Luar Negeri RI pada 27 Juli 2022.
Namun, kata Hendra, pemerintah juga harus mampu memaksimalkan potensi sumber daya yang ada di dalam negeri.
“Jangan terlalu bergantung juga. Namanya, kerjasama harus saling menguntungkan. Harus bisa lebih mengembangkan potensi yang kita miliki, bukan justru melemahkan,” ucapnya.
China adalah mitra strategis komprehensif Indonesia. Mitra dagang Indonesia terbesar, dengan nilai total perdagangan mencapai 10 miliar dollar AS. Serta, investor ketiga terbesar dengan nilai investasi mencapai 3,2 miliar dolar AS pada 2021.
Sosok Militan
Membela warisan revolusioner Partai Komunis China tampaknya menjadi semangat bagi Xi Jinping. Menurut Chris Buckley, sudah berulangkali dia menyuarakan kekhawatirannya ketika China mulai bergeser dari akar revolusionernya, pejabat dan warga negara semakin berisiko kehilangan kepercayaan pada partai.
“Untuk menghancurkan sebuah negara, Anda harus terlebih dahulu menghapus sejarahnya,” kata Jinping, mengutip seorang sarjana Konfusianisme dari abad ke-19. Begitupun dalam konteks negara, semakin jauh dari sejarah, China akan semakin dekat dengan kehancuran.
Itulah mengapa, putra dari Xi Zhongxun ini tak pernah gentar melawan ancaman infasi dan infiltrasi negara lain baik secara ekonomi maupun militer.
Xi Jinping berhasil mengonsolidasikan kekuasaan dengan cepat pada masa jabatan pertamanya sebagai Presiden China. Keberhasilan kampanye anti-korupsi berlanjut, dengan lebih dari satu juta pejabat korup dihukum hingga akhir 2017. Meski kampanye itu cenderung dianggap sebagai langkah menyingkirkan para saingan politik demi memperkuat upaya menghilangkan perbedaan pendapat dan memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan, Xi Jinping tidak peduli.
Selain menghukum para koruptor, dia juga merancang ideologi tentang sosialisme dengan karakteristik China era baru. Pemikiran ini masuk ke dalam konstitusi. Serta, dirangkai dalam kurikulum nasional yang terintegrasi ke seluruh jenjang pendidikan. Tujuannya, mencetak pewaris sosialisme dengan dasar moral, intelektual, fisik, dan estetik yang menyeluruh.
"Sekolah dasar akan fokus pada penanaman cinta tanah air, Partai Komunis China, dan sosialisme. Di sekolah menengah, fokusnya adalah pada kombinasi pengalaman persepsi dan studi pengetahuan, untuk membantu siswa membentuk penilaian politik dasar dan opini," media pemerintah Global Times melaporkan.
Tak hanya pendidikan, Jinping juga menggebrak dengan membuat Great Firewall (GFW) yang memadukan berbagai metode surveilans canggih yang menjadi bagian dari Golden Shield Project.
Xi Jinping tegas meminta negara-negara lain tak ikut campur dan menghormati hak masing-masing negara dalam mengatur sistem pengembangan dunia sibernya sendiri. Sebab, internet merupakan manifestasi kedaulatan negara dan harus diatur secara otonom.
“Tidak ada perbedaan antara dunia virtual dan dunia nyata. Keduanya harus mencerminkan nilai, cita-cita, dan standar politik yang sama,” ucap Xi Jinping dalam pidatonya saat acara World Internet Conference di Wuzhen pada Desember 2015.
Atas nama kedaulatan internet, China berani memblokir Google, Facebook, Twitter, YouTube. Menggantinya dengan produk-produk hasil karya anak bangsa.
“Setiap perusahaan internet yang mereka cekal akan diikuti munculnya perusahaan baru, yang dapat menghadirkan layanan serupa dan tak kalah canggih dengan teknologi perusahaan barat, seperti Weibo, Baidu, dan lainnya,” kata David Abdullah dalam tulisannya bertajuk ‘Great Firewall, Upaya Cina Ciptakan Jagat Internetnya Sendiri’.
Bahkan, sejumlah platform asal China juga sudah berekspansi ke sejumlah negara dunia, termasuk ke Indonesia. Semisal WeChat dan TikTok. Perusahaan teknologi Tencent Holdings juga sudah meluncurkan Internet Data Center pertama mereka di Indonesia.
One Belt One Road
Untuk urusan luar negeri, Xi Jinping juga tegas memperjuangkan teritori hampir semua Laut China Selatan. Serta mempromosikan One Belt One Road (OBOR) untuk sektor perdagangan, infrastruktur, dan pembangunan bersama negara-negara Asia Timur, Asia Tengah, dan Eropa.
Mengutip laporan Business Insider, mega proyek tersebut menghubungkan 70 negara Asia, Eropa, dan Afrika. Beberapa negara yang tergabung di proyek ini termasuk China, India, Pakistan, Rusia, Selandia Baru dan Polandia. Bersama-sama mereka menyumbang setidaknya sepertiga dari PDB dunia.
Menurut Jurnal Kajian Lemhanas RI oleh Ni Made Vira Saraswati, proyek OBOR China dalam Belt Road Initiative (BRI) sudah dimulai setidaknya sejak 2015 melalui kerja sama konsorsium untuk pembangunan Rel Kereta Api Pengangkut Batubara Puruk Cahu Batanjung-Bangkuang, dan Rel Kereta Api Pengangkut Batubara Trans Sumatera.
Kemudian berlanjut ke proyek-proyek selanjutnya seperti pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung pada 2016 dan proyek-proyek lainnya. Kabarnya termasuk proyek PLTA Sungai Kelayan, dan pembangunan kawasan industri Tanah Kuning dengan skema pendanaan business to business.
Kerjasama semakin erat dengan penandatanganan 23 Memorandum of Understanding antara sejumlah pebisnis Indonesia dan China dalam acara KTT II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing pada 27 April 2019.
“Masuknya investasi dari China, memang akan menumbuhkan perekonomian nasional dengan percepatan pembangunan infrastrutur. Namun, di sisi lain, sejumlah kalangan mengkhawatirkan jebakan hutang seperti yang terjadi di Sri Lanka, harus melepaskan pengelolaan pelabuhan Hambantota kepada China Merchant Port Holdings Limited (CM Port) selama 99 tahun ke depan karena ketidakmampuan membayar hutang,” merangkum tulisan Ni Made.
Anggota DPR RI dari Partai Gerindra Fadli Zon menilai OBOR yang kini telah berganti sebutan menjadi BRI adalah ambisi China membuat jalur sutera baru pada abad 21, baik jalur darat maupun maritim.
“Kita tentu harus menghormati China yang kini telah menjadi negara adidaya baru. Di sisi lain, kita juga harus mewaspadai segala politik ekspansionis yang merugikan kepentingan nasional,” kata Fadli Zon kepada awak media pada 2019.
Sempat Terbuang
Sebelum Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada November 2012, dunia belum begitu mengenalnya. Yang diketahui, hanya Jinping sebagai putra seorang pejabat tinggi Partai Komunis China yang sempat menjadi ‘orang buangan’ pada fase revolusi kebudayaan pada 1960-an.
Pada usia 15 tahun, Xi Jinping harus meninggalkan pendidikan formal di Beijing dan pindah ke desa setelah Mao Zedong mengeluarkan dekrit yang memerintahkan jutaan anak-anak muda perkotaan hidup di desa untuk merasakan hidup sebagai petani.
Jinping remaja menjalani kehidupannya di beberapa desa di tanah kelahirannya, Provinsi Shaanxi sebagai buruh kasar, mengangkut pupuk, membangun waduk, dan memperbaiki jalan.
“Selama periode itu, Xi mengembangkan hubungan sangat baik dengan kaum tani setempat. Hubungan yang membantunya masuk menjadi anggota Partai Komunis China pada 1974,” tulis Britannica.
Disejajarkan Mao Zedong dan Deng Xiaoping
Setelah menjadi anggota, jaringan perkenalan Xi Jinping semakin luas. Dia sempat bekerja selama tiga tahun sebagai sekretaris Geng Biao, yang kala itu menjabat wakil perdana menteri dan menteri pertahanan nasional di pemerintah pusat China. Pada 1982, Xi Jinping melepaskan jabatan itu, memilih meninggalkan Beijing dan bekerja sebagai wakil sekretaris Partai Komunis China di provinsi Hebei.
Ternyata, keputusannya tepat. Tiga tahun berselang, dia kembali ditunjuk sebagai anggota komite partai dan wakil walikota Xiamen (Amoy) di provinsi Fujian. Di kota inilah, Xi Jinping menikah dengan penyanyi folk terkenal Peng Liyuan pada 1987.
Karier politiknya terus menanjak hingga berhasil menjabat wakil sekretaris partai provinsi pada 1995, berlanjut menjabat Gubernur Fujian pada 1999, dan ditunjuk sebagai Sekretaris Partai Komunis China pada 2003.
“Sebagai sekretaris partai, ia fokus melakukan restrukturisasi infrastruktur industri provinsi guna mempromosikan pembangunan berkelanjutan,” Britannica menerangkan.
Lalu pada Oktober 2007, pria berusia 69 tahun ini kembali terpilih sebagai salah satu dari sembilan anggota komite tetap Biro Politik (Politbiro), badan penguasa tertinggi Partai Komunis China. Posisi inilah yang menuntunnya menjadi Wakil Presiden China pada Maret 2008.
Selain sebagai Wapres, pada 2010 Xi Jinping juga diangkat sebagai Wakil Ketua Komisi Militer Pusat (CMC) dan sebagai Sekretaris enderal CMC dua tahun setelahnya menggantikan Hu Jintao, hingga akhirnya terpilih sebagai Presiden China oleh Kongres Rakyat Nasional pada 2013.
Pada Oktober 2016, Partai Komunis China menganugerahkan kepadanya gelar ‘Pemimpin Inti’ yang sebelumnya hanya diberikan kepada tokoh-tokoh partai berpengaruh Mao Zedong, Deng Xiaoping, dan Jiang Zemin.
Dalam pidato memperingati hari ulang tahun ke-100 Partai Komunis China pada Juli 2021, Xi Jinping menyampaikan tekadnya untuk meningkatkan kepemimpinan partai, menegakkan kepemimpinan inti sekaligus memperkuat persatuan rakyat China.
“Kami tak akan pernah membiarkan siapa pun untuk menggunjing, menindas, atau menaklukan China," tegas Xi Jinping.
Berkat kegigihan dan integritasnya itulah muncul ungkapan, bila Mao Zedong memimpin negara melawan penindasan, Deng Xiaoping membawa kemakmuran, dan sekarang Xi Jinping mendorong bangsa ke era baru kekuatan nasional.
Baca juga:
- Isu Xi Jinping Dikudeta: Politik China Laksana Rumah Kaca yang Panas, Samar, Susah Diraba
- Ramai di Twitter Soal Kandungan Gula Berlebih, Anjuran Seharusnya Seperti Apa?
- Safari Politik PDIP ke PKB: Representasi Partai Wong Cilik Cukup Ditunjukkan dengan Makan Nasi Pecel?
- Menanti Sidang Etik Brigjen Hendra Kurniawan: Pakai Jet Pribadi ke Jambi adalah Pelanggaran Soal Gratifikasi