Inggris Sepeninggal Ratu Elizabeth II: Tantangan Terberat Raja Charles III Datang dari Internal Kerajaan
JAKARTA - Rencana perubahan bentuk negara Australia menjadi republik pernah menjadi perdebatan sengit pada 1999. Negeri Kanguru sampai harus membuat referendum untuk menggantikan posisi Ratu Elizabeth II sebagai kepala negara dengan seorang presiden.
Ternyata, 54,87 persen menjawab tidak setuju. Alhasil, Australia tetap menjadi negara demokrasi parlementer. Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan Australia. Bekerja di bawah arahan Gubernur Jenderal yang ditunjuk oleh Ratu Elizabeth II atas saran dari pemerintah terpilih untuk mewakilinya.
Kini, pascakematian Ratu Elizabeth II dan penobatan Charles III sebagai Raja Inggris, wacana mewujudkan pemerintahan republik kembali menyeruak. Namun, Perdana Menteri Anthony Albanese yang sebelumnya menyuarakan dukungan terhadap pembentukan republik memastikan pembahasan tersebut belum menjadi prioritas.
“Prioritas saat ini adalah mengadakan referendum tentang hak-hak politik masyarakat adat, bukan untuk mencopot raja sebagai kepala negara. Saya ingin warga Australia berkonsentrasi pada Voice to Parliament,” kata Albanese pada 15 September 2022 seperti dilansir dari Kompas.com.
Pemerintah Partai Buruh tidak akan menggelar referendum tentang wacara itu selama masa pemerintahannya yang pertama.
“Sekarang bukan waktu yang pantas untuk membicarakan perubahan konstitusional. Yang harusnya dilakukan sekarang adalah merayakan kehidupan dan pelayanan Ratu Elizabeth II,” ujar Albanese.
Tidak hanya Australia, isu pembentukan republik juga tengah gencar di negara-negara Persemakmuran Inggris lainnya. Selandia Baru misalnya, namun Perdana Menteri Jacinda Ardern langsung menepisnya.
"Saya tidak merasa ada urgensi. Begitu banyak tantangan yang kita hadapi. Ini adalah perdebatan besar yang penting. Saya tidak berpikir ini sesuatu yang akan atau harus terjadi dalam waktu dekat," kata Ardern kepada pers, pada 12 September 2022.
Ardern pun tak menampik memang isu pembentukan republik terus terdengar meski hanya sayup-sayup.
"Saya percaya Selandia Baru akan menuju ke sana. Saya percaya kemungkinan itu akan terjadi dalam hidup saya, tetapi saya tidak melihat hal itu ada dalam agenda dalam waktu dekat," kata Ardern.
Informasi media, jumlah negara yang ingin keluar dari Persemakmuran Inggris terus bertambah. Sebelumnya Grenada, Saint Kitts dan Nevis, Bahama, Belize, dan Jamaika. Terbaru, Antigua dan Barbuda.
Tidak lama setelah Charles III dinyatakan sebagai Raja Inggris, negara-negara tersebut mengumumkan akan melaksanakan referendum sebagai negara republik selambat-lambatnya dalam tiga tahun mendatang.
Hanya Sistem Pemerintahan
Namun, menurut pengamat politik internasional dari Universitas Nasional, Hendra Maujana, itu hanya sekadar isu. Wacana negara Persemakmuran untuk menjadi republik memang selalu ada sejak era Ratu Elizabeth II masih memimpin, tetapi itu hanya menyoal sistem pemerintahan dan status kemerdekaan secara de jure.
Toh, pada akhirnya, mereka tetap bergabung sebagai negara-negara Persemakmuran. Hanya saja, mereka memiliki presiden sendiri dan mengakui Raja Charles III hanya sebagai ketua Persemakmuran, bukan kepala negara. Semisal India, Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lain.
Justru ada negara yang sudah menjadi republik, kembali lagi mengikuti monarki Inggris. Seperti Barbados, Zimbabwe, dan beberapa negara lainnya.
“Namanya saja Commonwealth, Persemakmuran, memberikan janji untuk makmur. Negara-negara Persemakmuran tentu menyadari, Inggris memiliki beragam kekuatan mumpuni, baik dari segi diplomasi, intelektual, dan militer. Kekuatan inilah yang akan menopang untuk mewujudkan kesejahteraan untuk warganya,” kata Hendra kepada VOI, Selasa (20/9).
Hendra pun meyakini tidak akan terjadi perubahan signifikan terhadap nasib negara-negara Persemakmuran nantinya pascaperubahan struktur pemimpin monarki di Inggris. Meski timbul gejolak, Raja Charles III pasti bisa mengatasinya.
“King Charles sudah berpengalaman, selalu menghandle tugas-tugas dari ratu semasa masih hidup. Charles itu sudah mensubmit diri sebagai raja sejak usia 28 tahun. Sekarang 73 tahun, artinya sudah 48 tahun dia melamar sebagai raja dan diterima lamarannya baru-baru ini. Tandanya, dia sudah siap atau dipersiapkan jadi raja,” paparnya.
Namun, memang masih belum sempurna. Peristiwa lupa tanggal dan tinta pulpen bocor menjadi catatan tersendiri untuk Charles agar bisa mengubah sikap, tidak lagi sebagai pangeran, melainkan sudah sebagai raja.
“Tidak sembrono, tidak lagi berbuat skandal yang merusak citra kerajaan karena dia sudah menjadi raja dari seluruh negara-negara Persemakmuran. Penasihat kerajaan dan orang-orang terdekat harus memastikan betul bahwa Charles sudah menjadi raja,” terang Hendra.
Justru, tambah Hendra, tantangan terbesar akan muncul dari internal kerajaan. Mungkin saja, Charles akan mengubah tradisi-tradisi kerajaan, siapa-siapa saja yang dibiayai oleh negara atau hal lainnya.
“Ini yang akan menjadi perdebatan serius di antara mereka,” tandasnya.
Pemimpin Persemakmuran Inggris
Ratu Elizabeth II wafat pada 8 September 2022 dalam usia 96 tahun di Istana Balmoral, Skotlandia. Ketika didapuk sebagai pengganti ratu, Raja Charles III tak hanya mewarisi kekuasaan monarki, tetapi juga posisi sebagai pemimpin Persemakmuran Inggris.
Charles akan menjadi kepala negara bagi anggota Alam Persemakmuran (Commonwealth Realms) sekaligus ketua Persemakmuran untuk Negara Persemakmuran (Commonwealth Nations).
Saat ini, ada 56 negara yang merupakan negara persemakmuran Inggris, 15 di antaranya merupakan anggota Alam Persemakmuran, yakni:
- Inggris Raya,
- Bahama,
- Belize,
- Kanada,
- Grenada,
- Papua Nugini,
- Jamaika
- Selandia Baru.
- Australia
- St Kitts dan Nevis
- Tuvalu
- Saint Lucia
- Saint Vincent dan Grenadines
- Kepulauan Solomon
- Antigua dan Barbados
Sementara 41 negara lainnya adalah negara-negara yang sudah memiliki kepala negara dan mengakui Raja Charles III hanya sebagai Ketua Persemakmuran.
Melansir dari Britannica, konsep awal persemakmuran adalah hanya negara-negara bekas jajahan Inggris. Lewat UU Wesminster pada 1931, Inggris melunak dan memberikan kebebasan bagi negara-negara jajahannya untuk lebih bebas dan setara mengendalikan pemerintahan secara mandiri.
Konsep kemandirian itu semakin kuat lewat Deklarasi London pada 1949.
“Negara-negara anggota persemakmuran Inggris bersatu dan bekerja sama mengembangkan ekonomi, sosial, dan HAM. Anggota negara Persemakmuran juga bersepakat bahwa isu lingkungan dan dampak perubahan iklim penting untuk diatasi bersama-sama,” begitu tertulis dalam Britannica.
Baca juga:
- Mengenang Ratu Elizabeth II: Hanya Dua Presiden Republik Indonesia yang Pernah Menemuinya
- Setelah Resmi Dipecat dari Kepolisian, Bagaimana Nasib Ferdy Sambo di Sidang Pidana?
- Simpatisan Partai Demokrat dan PDIP Saling Gunjing di Twitter: Rakyat Bertengkar, Elite Partai Tambah Populer
- Turun Gunung: Istilah yang Sudah Dua Kali Dipakai Susilo Bambang Yudhoyono Saat Partai Demokrat Menghadapi Masalah