Lima Alasan Duet Prabowo-Jokowi Tidak Akan Terwujud, Salah Satunya Menurunkan Wibawa Presiden

JAKARTA - Analis Politik yang juga pendiri Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai wacana duet Joko Widodo-Prabowo Subianto sah saja di dalam iklim demokrasi.

Apalagi, wacana ini dikembangkan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa presiden dua periode boleh kembali berlaga menjadi wapres, karena tidak diatur konstitusi dan tak terbentur peraturan perundang undangan. 

Pangi mengatakan, UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai calon wakil presiden. Itu artinya, kata Pangi, usulan tersebut lebih masuk akal dan rasional karena tidak menabrak Undang-Undang dan konstitusi.

"Ada 5 hal yang menjadi catatan saya. Pertama, betulkah Jokowi mau menjadi cawapresnya Prabowo? Mohon maaf, nampaknya tawaran tersebut justru merendahkan wibawa dan martabat Jokowi yang pernah menjadi presiden dua periode. Tapi tentu semua kembali ke Jokowi," ujar Pangi dalam keterangan yang diterima VOI, Jumat, 16 September. 

Pangi tak yakin Jokowi mau digandeng menjadi wakil presiden Prabowo. Jokowi, kata dia, mungkin jauh lebih tertarik dengan ide tiga periode. Faktanya, kata dia, presiden Jokowi cenderung membiarkan wacana tersebut terus didengungkan pendukungnya.

Kedua, menurut Pangi, belum ada jaminan duet Prabowo-Jokowi bakal mulus melenggang ke kursi Istana. Sebab, kata dia, approval rating terhadap Presiden Jokowi trendnya terus turun, maka citra dan elektabilitas Jokowi kemungkinan meredup. 

"Itu artinya tingkat kepuasan terhadap kinerja presiden Jokowi terjadi fluktuasi dan dinamis kedepannya, ada kemungkinan figur Jokowi tidak lagi se-populer ketika maju pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Jangan lupa perilaku pemilih Indonesia itu juga akan kemungkinan jenuh, stagnan, mereka rindu figur-figur yang lebih seger populis, dan membawa harapan baru di dalam visi capresnya," jelas Pangi. 

Ketiga, Pangi mengaku tidak yakin Jokowi selamanya dicintai rakyat. Pasalnya, ada fase anti klimaks dengan ketokohan seseorang. 

"Saya menilai masyarakat cenderung lebih tertarik dengan figur seger seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan ketimbang Prabowo-Jokowi," kata Pangi.

Keempat, dari basis segmen pemilih juga berbeda cerugnya. Masih teringat di benak publik soal 'cebong dan kampret'. Kelima, wacana duet Prabowo-Jokowi pada Pilpres 2024 merupakan bentuk 'keputusasaan'. 

"Munculnya wacana 3 periode dalam rangka untuk testing the water dan mencari alternatif model lain agar presiden Jokowi tetap berkuasa. Mungkin kaum oligarki yang sedang menikmati kue kekuasaan belum siap pesta mereka segera usai, kemudian wacana ini menjadi santer pembicaraan ruang publik atau masyarakat," kata Pangi.