Kiprah Jenderal Hoegeng Imam Santoso Saat Menjabat Kepala Djawatan Imigrasi

JAKARTA - Reputasi Jenderal Hoegeng Imam Santoso sebagai polisi tegas dan jujur mengemuka. Jenderal Besar TNI A.H. Nasution sampai kepincut. Pria yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan (Menko Hankam) itu ingin menguji Hoegeng.

Ia meminta Hoegeng menjadi Kepala Djawatan Imigrasi (Kini: Direktorat Jenderal Imigrasi). Sebuah jabatan di luar kariernya sebagai polisi. Hoegeng menyambut dengan baik. Ragam gebrakan dilanggengkan. Ia mampu mengubah citra Imigrasi yang melulu disebut tukang stempel belaka. Derajat Imigrasi pun terangkat karenanya.

Karier Hoegeng sebagai polisi terbilang mentereng. Ia tak pernah menyia-nyiakan jabatan apapun yang diberikan. Apalagi ketika Hoegeng diberi tugas memberantas korupsi, perjudian, dan smokel (penyelundupan) di Medan, Sumatra Utara.

Tugasnya sebagai Kepala Reskrim Sumut dilakukan dengan baik. Segala kasus kejahatan berhasil dipecahkannya. Pelakunya diringkus. Demikian pula, aparat korup yang mendukung bisnis haram. Hoegeng berlaku tegas. Ia menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Barang siapa yang melakukan kejahatan, maka harus bertanggung jawab.

Jenderal Hoegeng Imam Santoso saat menjadi Kepala Djawatan Imigrasi. (Instagram)

Sosok Hoegeng pun kesohor di Medan. Petinggi Polri pun melihatnya. Hoegeng pun naik Jabatan dan ditarik ke Markas Besar Kepolisian (Mabak). Namun, jalan Hoegeng tak mulus. Isu Hoegeng simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI) muncul. Kabar itu membuatnya bak diparkir oleh pemerintah. Hoegeng pun langsung mendatangi Bung Karno.

Ia menjelaskan duduk perkara bahwa ia bukan bagian dari PSI. Ia menyatakan kesiapannya membela negara. Pertemuannya dengan Bung Karno membuahkan hasil. Jenderal Besar TNI A.H. Nasution langsung menawarkan Hoegeng pekerjaan baru di luar Kepolisian.

A.H. Nasution sudah sedari awal kepincut dengan reputasi Hoegeng. Baginya, Hoegeng adalah sosok langka. Berintegritas pula. Pun Hoegeng kemudian diminta menjadi Kepala Djawatan Imigrasi Indonesia. Hoegeng pun menyanggupi.

“Hoegeng dilantik sebagai Kepala Jawatan Imigrasi pada 19 Januari 1961 oleh Menko Hankam Jenderal A.H. Nasution. Dalam percakapan informal usai acara pelantikan, Nas minta pada Hoegeng agar bisa memperlancar prosedur dan mekanisme kerja jawatan imigrasi, seperti pengurusan exit permit dan paspor. Pada intinya, adalah upaya untuk meningkatkan jasa pelayanan imigrasi, untuk menegakkan kembali wibawa Jawatan imigrasi.”

“Memang saat itu, Jawatan Imigrasi membutuhkan figur kepemimpinan yang tegas. Ada semacam krisis kepemimpinan karena yang berperan justru orang dari luar jawatan imigrasi, seperti dinas intel Angkatan Darat (AD), Dewan kehormatan Polri POLRI, Polisi Militer (CPM) dan kejaksaan agung. Jawatan imigrasi seolah hanya berfungsi sebagai juru tulis dan stempel saja,” ungkap Aris Santoso dan kawan-kawan dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).

Kepala Djawatan Imigrasi

Jenderal A.H. Nasution sengaja memilih Hoegeng. Djawatan Imigrasi yang dikenal berada di bawah wewenang Menko Hamkam membutuhkan kemimpinan yang yang tegas. Hoegeng dianggap dapat kembali menaikkan derajat imigrasi di mata pemerintah dan masyarakat.

Semuanya karena belakangan Imigrasi justru dikuasai oleh orang-orang non-Imigrasi. Kondisi itu membuat citra orang-orang Djawatan Imigrasi laksana juru tulis dan tukan stempel saja. Sedang orang-orang non-Imigrasi mengambil alih sebagian besar pekerjaan Imigrasi.

Nasution juga merinci dengan spesifik mimpinya terhadap Djawatan Imigrasi. Ia ingin supaya Djawatan Imigrasi dapat mempercepat pengurusan dan exit permit, paspor, dan layanan lainnya. Hoegeng pun menyanggupinya.

Ia optimistis dapat melakukan penyegaran di lingkungan Imigrasi. Segala macam prosedur kerja yang semrawut diubahnya. Pun instansi-instansi pemerintahan yang ingin menitipkan orang-orangnya tiada lagi pada zaman Hoegeng.

Seluruh petinggi Imigrasi dilibatkan untuk membuat keputusan. Kritik dan masukan diterima Hoegeng dengan baik. Segala macam hal yang menghambat kinerja Imigrasi segara dihilangkan. Pembuatan paspor dan exit permit dibatasi Hoegeng pengurusannya diberi batas tiga hari.

Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang selalu dikenal sebagai polisi jujur meninggal dunia pada 14 Juli 2004. (Dok. ANRI)

Andai kata pengurusan molor. Pihak yang berkentingan itu diminta Hoegeng langsung menghadap dan menunjuk pegawai yang menghambat. Siapa pun yang tak sesuai prosedur akan mendapatkan hukuman.

Semua orang yang berkepentingan dengan Imigrasi harus dilayani sama rata, tanpa pandang bulu. Hoegeng juga melarang keras praktek suap-menyuap di lingkungan Imigrasi. Baginya, kejujuran Imigrasi harus dijaga. Imigrasi pun berubah wajah. Sesuai mimpi A.H. Nasution. Cap Imigrasi sebagai tukang stempel tak lagi terdengar.

“Dengan selalu memelihara kerja sama dan koordinasi yang berjalan menurut prosedur dan mekanisme yang sah, saya nyatakan, bahwa saya menjamin kelancaran pengurusan exit permit dan paspor. Dan apabila dalam waktu tiga hari tidak beres, maka yang berkepentingan dapat menemui saya sebagai Kepala Kantor Djawatan Imigrasi.”

“Selanjutnya, bila terjadi penyelewengan dalam tubuh Imigrasi, maka orang yang terlibat akan ditindak. Sesudah saya bicara, maka yang lain menggunakan kesempatan untuk mengemukakan tanggapan. Seusai pertukaran pikiran dan gagasan, maka oleh Nasution diputuskan bahwa tata cara yang telah saya sampaikan akan dipedomani,” terang Hoegeng sebagaimna ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).