Ahli UI: Subvarian COVID-19 Semakin Tidak Menunjukkan Kekhasan Gejala

JAKARTA - Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prasenohadi menyatakan, subvarian baru COVID-19 semakin tidak menunjukkan kekhasan gejala saat menginfeksi seseorang.

“Awalnya itu bersarang di saluran pernafasan atas. Tapi kenyataannya, dengan perjalanan waktu, ternyata virus ini mampu mencapai organ-organ tertentu. Makanya kenapa sekarang gejalanya menjadi tidak khas,” kata Prasenohadi dalam Talkshow Perkembangan Gejala pada Subvarian BA.5 yang diikuti secara daring di Jakarta, Antara, Jumat, 26 Agustus.

Prasenohadi menuturkan pada mulanya, infeksi akibat COVID-19 menyerang saluran pernafasan bagian atas. Gejala yang diderita oleh pasien juga berupa batuk, pilek, demam seperti influenza atau ditambah dengan sesak nafas bila bergejala sedang hingga berat.

Saat ini pada kasus varian Delta, gejala yang paling banyak dilaporkan oleh penderita berupa sesak nafas. Sedangkan pada kasus varian Omicron, gejala yang paling banyak dirasakan adalah batuk.

Hal itu kemungkinan disebabkan karena antibodi yang meningkat karena tingginya cakupan vaksinasi atau Omicron yang lebih lemah dari keganasan Delta. Namun, seiring berjalannya waktu, ditemukan pula orang yang terpapar COVID-19 justru memiliki gejala seperti diare.

Prasenohadi menjelaskan kekhasan yang semakin hilang itu, disebabkan karena virus dapat menyebar ke sejumlah organ tubuh tertentu dan mengganggu fungsi organ berjalan dengan baik seperti biasa.

“Sering ditemukan orang dengan diare ternyata begitu diusap (swab), PCR positif dan dia keluhannya hanya diare atau pasien dengan kelelahan dan kesadaran menurun. Itu karena bisa menyerang otak, menyerang usus, ginjal dan sebagainya,” ucap dokter yang juga bekerja di RSUP Persahabatan itu.

Penyebab lainnya yakni ditemukan bahwa virus akan mengenai organ yang dianggapnya lemah, sehingga keluhan akan gejala yang dirasakan pasien sudah tidak dapat lagi dikatakan khas.

Dari beberapa pemeriksaan COVID-19 yang dirinya lakukan, ditemukan bahwa ada pasien yang telah dinyatakan negatif COVID-19 justru tiba-tiba mengalami gangguan ginjal atau jantung. Adapula pasien yang mengaku merasa lebih cepat lelah hingga mengalami gangguan pembekuan darah.

“Itu bisa berlangsung lama, beberapa pasien saya sudah lama menderita COVID-19. Kemudian sudah sembuh, PCR sudah negatif tapi naik tangga tidak mampu, berjalan jauh juga tidak mampu, karena terjadi pembekuan darah,” kata Prasenohadi.

Menurut Prasenohadi, meski pandemi kini didominasi oleh Omicron dengan varian BA.5, tidak menutup kemungkinan bila gejala yang dirasakan bisa sama seperti yang diakibatkan oleh varian Alfa atau Delta karena tergantung dari imunitas dan kondisi tubuh seseorang.

Oleh karenanya, sembari pemerintah dan para ahli terus melakukan kajian, dirinya berharap semua pihak bekerja sama menekan penularan COVID-19 dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dan mengikuti vaksinasi yang disediakan.

 

“Penyakit ini baru dua tahun, kita tidak tahu lima atau 10 tahun ke depan. Jadi manusia masih mempelajari COVID- 19 ini, berbeda dengan kita belajar menangani TBC atau asma atau pasien lainnya yang kita sudah tahu obatnya. Ini masih berjalan, semuanya masih di awang-awang,” katanya.