Remaja Rentan Prioritas Vaksinasi Booster, Epidemiolog: Difabel, Autis, Termasuk Anak Obesitas
JAKARTA - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan kalangan remaja rentan harus menjadi prioritas untuk mendapatkan vaksin COVID-19 dosis penguat atau booster.
"Seandainya dosis terbatas, utamakan kelompok rawan yang punya komorbid atau kondisi tubuh lainnya. Mungkin difabel, autis, termasuk kondisi anak obesitas," kata Dicky Budiman yang dikonfirmasi, Jumat 5 Agustus.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sudah mengizinkan vaksinasi booster kepada anak usia 16-18 tahun. Menurutnya, anak remaja terutama yang rentan, perlu mendapatkan booster untuk meningkatkan proteksi dari COVID-19.
"Ini keputusan yang sangat tepat dan hasil yang didapat BPOM dalam mengujinya (dosis vaksin) lebih klinis. Memang tidak jauh berbeda dengan negara lain yang sudah lebih dulu memberikan vaksin booster," tuturnya.
Baca juga:
- Tak Hanya Alfamidi, KPK Duga Usaha Lain Wajib Beri Uang Pelicin Saat Urus Dokumen Perizinan di Kota Ambon
- Viral Kapten Kapal Tanker Asal Indonesia Diduga 'Dikerangkeng' di China, Keluarga Temui Jalan Buntu Saat Minta Bantuan PWNI dan KBRI Shanghai
- Harapan Penamaan Stadion MH Thamrin Belum Kandas Mesti JIS Sudah Grand Launching, Sejarawan Betawi: Belum Ada Tanda Tangan Prasasti
- Berubahnya Alur Kasus Pembunuhan Brigadir J di Rumah Singgah Irjen Ferdy Sambo
BPOM mengizinkan Pfizer dengan teknologi mRNA digunakan sebagai vaksin booster COVID-19 untuk anak-anak berusia 16-18 tahun.
Keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan ilmiah sejumlah aspek dan rekomendasi dari Komite Nasional Penilaian Obat dan Vaksin COVID-19 atau Indonesian Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI), serta asosiasi klinisi.
"Pilihannya sudah benar, dan ini penting karena anak usia 16 tahun, bahkan 12 tahun sudah bisa dapat booster dan perlu untuk meningkatkan level proteksi. Karena tidak berbeda dengan dewasa, proteksi remaja yang timbul dari vaksin juga menurun seiring waktu," ujarnya.
Dicky mengatakan booster belum perlu menjadi syarat remaja dalam beraktivitas, termasuk sekolah. Alasannya, imunitas remaja jauh lebih kuat.
"Justru yang perlu jadi perhatian adalah booster untuk guru dan staf di sekolah yang mungkin di antara mereka lansia atau memiliki komorbid. Yang perlu disyaratkan adalah penerapan protokol kesehatan dan sirkulasi udara di sekolah," katanya.
Untuk meningkatkan cakupan booster, Dicky berharap pemerintah bisa membangun strategi komunikasi risiko yang transparan.
"Kejujuran pemerintah bukan untuk menimbulkan ketakutan di masyarakat, tapi membangun kewaspadaan. Kalau tidak jujur, orang menganggap pandemi sudah selesai," tandasnya.