Akhir Drama Mardani Maming, Terborgol dan Resmi Ditahan KPK Terkait Dugaan Suap dan Gratifikasi
JAKARTA - Mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H. Maming akhirnya resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dan gratifikasi izin usaha pertambangan. Dia disebut menerima uang sebesar Rp104,3 miliar.
Sempat dinyatakan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), Mardani bersama kuasa hukumnya akhirnya hadir di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan pada Kamis, 28 Juli. Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) nonaktif itu kemudian resmi menggunakan rompi oranye dengan tangan diborgol.
"KPK meningkatkan status perkara ini ke penyidikan dengan mengumumkan tersangka sebagai berikut MM (Mardani H. Maming) Bupati Tanah Bumbu periode tahun 2010-2015 dan tahun 2016-2018," kata Alexander saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Setelah ditahan, Mardani kemudian ditahan selama 20 hari pertama sejak 28 Juli hingga 16 Agustus. Dia akan menempati Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur.
Dalam konferensi pers itu, komisi antirasuah menjelaskan Mardani yang merupakan Bupati Tanah Bumbu memiliki wewenang di antaranya memberi izin usaha pertambangan. Dia didekati oleh pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), Henry Soetio untuk memperoleh IUP atas nama PT Bangun Karya Pratama Lestari seluas 370 hektare.
"Menanggapi keinginan Herry Soetio tersebut diawal tahun 2011 MM diduga mempertemukan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu," ujar Alexander.
"Dalam pertemuan tersebut MM diduga memerintahkan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo agar membantu dan memperlancar pengajuan IUP OP dari Henry Soetio," sambungnya.
Kemudian, IUP terkait peralihan dari PT BKPL ke PT PCN dikeluarkan. Namun, proses itu ternyata mengalami beberapa keganjilan seperti tanggal yang dibuat mundur hingga tanpa bubuhan paraf dari beberapa pejabat yang berwenang.
Alexander mengatakan peralihan izin itu diduga melanggar ketentuan pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang berbunyi, "pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain."
Baca juga:
- Tegaskan Kasusnya Murni Bisnis, Mardani Maming: Saya Tidak Sebodoh Itu
- Menanti Kedatangan Ibnu Khajar dan Ahyudin Cs di Bareskrim Polri Setelah Berstatus Tersangka, Apakah Bakal Ditahan?
- 1 dari 2 Eks Direktur Pingsan usai Ditetapkan Kejari Sebagai Tersangka Korupsi RSUD Pasaman Barat
- Hukuman Kurungan Munarman Ditambah Jadi 4 Tahun Penjara Usai Banding Ditolak PT Jakarta
Selain itu, Mardani juga diduga membuat perusahaan fiktif dengan membentuk PT Angsana Terminal Utama (ATU). KPK menduga usaha tersebut memonopoli pengelolaan pelabuhan yang menunjang aktivitas operasional pertambangan.
"Ada pun perusahan tersebut susunan direksi dan pemegang sahamnya masih berafiliasi dan dikelola pihak keluarga MM dengan kendali perusahaan tetap dilakukan oleh MM," ungkapnya.
Selanjutnya, KPK menduga Mardani menerima uang dari Henry Soetio melalui orang kepercayaannya atau perusahaannya. Untuk memuluskan hal tersebut, diduga dibuat kesepakatan kerja sama underlying untuk memayungi adanya aliran uang dari PT PCN.
"Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer rekening dengan jumlah sekitar Rp104,3 miliar dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020," tegas Alexander.
Jadi tersangka tunggal
Mardani hanya ditetapkan sebagai tersangka sendirian. Pemberi suap, yaitu Henry Soetio dinyatakan telah meninggal dunia sehingga terbebas dari jeratan hukum.
"Dalam paparan ekspose itu ternyata pemberinya Hendry Soetio (pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara atau PCN) itu sudah meninggal. Jadi pemberinya sudah meninggal," ujar Alexander.
Meski begitu, KPK tetap yakin bisa mengusut kasus ini. Alexander bilang pihaknya sudah memegang alat bukti.
"Dan perkara ini sebetulnya ada irisan dengan perkara yang ditangani oleh Kejaksaan Agung menyangkut kepala dinas pertambangan dan energi," tegasnya.
Akibat perbuatannya, Mardani kemudian disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.