Jadi Tersangka Kasus Suap dan Gratifikasi, Mardani Maming Diduga Terima Uang Rp104,3 Miliar

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penetapan mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel), Mardani H. Maming sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait izin usaha pertambangan (IUP). Dia diduga menerima uang lebih dari Rp100 miliar sejak 2014 hingga 2020.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan usai dilakukan rangkaian penyelidikan dan penyidikan, akhirnya Mardani secara resmi ditetapkan sebagai tersangka. Pengusutan dilakukan setelah mereka menerima laporan masyarakat.

"KPK meningkatkan status perkara ini ke penyidikan dengan mengumumkan tersangka sebagai berikut MM (Mardani H. Maming) Bupati Tanah Bumbu periode tahun 2010-2015 dan tahun 2016-2018," kata Alexander saat konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Juli.

Mardani kemudian ditahan selama 20 hari pertama sejak 28 Juli hingga 16 Agustus. Dia akan menempati Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur.

KPK menjelaskan Mardani yang merupakan Bupati Tanah Bumbu memiliki wewenang di antaranya memberi izin usaha pertambangan.

Dia kemudian didekati oleh pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) untuk memperoleh IUP atas nama PT Bangun Karya Pratama Lestari seluas 370 heaktare.

"Menanggapi keinginan Herry Soetio tersebut diawal tahun 2011 MM diduga mempertemukan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu," ujar Alexander.

"Dalam pertemuan tersebut MM diduga memerintahkan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo agar membantu dan memperlancar pengajuan IUP OP dari Henry Soetio," sambungnya.

Kemudian, IUP terkait peralihan dari PT BKPL ke PT PCN dikeluarkan. Namun, proses itu ternyata mengalami beberapa keganjilan seperti tanggal yang dibuat mundur hingga tanpa bubuhan paraf dari beberapa pejabat yang berwenang.

Alexander mengatakan peralihan izin itu diduga melanggar ketentuan pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang berbunyi, "pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain."

Selain itu, Mardani juga diduga membuat perusahaan fiktif dengan membentuk PT Angsana Terminal Utama (ATU). KPK menduga usaha tersebut memonopoli pengelolaan pelabuhan yang menunjang aktivitas operasional pertambangan.

"Ada pun perusahan tersebut susunan direksi dan pemegang sahamnya masih berafiliasi dan dikelola pihak keluarga MM dengan kendali perusahaan tetap dilakukan oleh MM," ungkapnya.

Dalam kasus ini, KPK menduga Mardani menerima uang dari Hendry Soetio melalui orang kepercayaannya atau perusahaannya. Untuk memuluskan hal tersebut, diduga dibuat kesepakatan kerja sama underlying untuk memayungi adanya aliran uang dari PT PCN.

"Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer rekening dengan jumlah sekitar Rp104,3 miliar dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020," tegas Alexander.

Akibat perbutannya, Mardani kemudian disangka melanggar r Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.