Inggris dan Israel Sepakat Cegah Iran Memperoleh Senjata Nuklir
JAKARTA - Iran tidak boleh diizinkan untuk memperoleh senjata nuklir, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan pemimpin baru Israel Yair Lapid mengatakan dalam sebuah panggilan telepon pada Hari Selasa.
Pada kesempatan tersebut, Inggris juga mendorong Teheran untuk kembali ke kesepakatan yang membatasi program nuklirnya sesegera mungkin.
PM Lapid dan Johnson membahas kemitraan antara kedua negara dan sepakat bahwa negosiasi atas perjanjian perdagangan bebas akan membawa kerja sama antara negara-negara ke ketinggian baru.
Kedua pemimpin itu menyinggung lengsernya Johnson dari posisi perdana menteri yang akan segera terjadi, dengan pemimpin Inggris meyakinkan Lapid bahwa hubungan Inggris-Israel akan terus menjadi sangat penting bagi penggantinya.
Ukraina juga menjadi agenda selama panggilan tersebut dan para pemimpin menggarisbawahi dukungan mereka untuk rakyat Ukraina, dengan Johnson menyambut upaya kemanusiaan Israel terhadap negara tersebut.
Dia juga menekankan perlunya semua negara untuk terus menekan rezim Presiden Rusia Vladimir Putin, termasuk melalui sanksi, seperti melansir The National News 27 Juli.
Terpisah, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan dia telah menyerahkan rancangan teks kesepakatan tentang program nuklir Iran, mendesak pihak untuk menerimanya atau "mengambil risiko krisis nuklir yang berbahaya".
Sebelumnya, Iran memperingatkan pada Hari Senin mereka tidak akan terburu-buru ke dalam kesepakatan "cepat" untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015 yang goyah dengan kekuatan dunia, karena negosiasi di Wina tetap menemui jalan buntu.
"Teks ini mewakili kesepakatan terbaik yang saya, sebagai fasilitator negosiasi, anggap layak," tulis Borrell di Financial Times.
"Ini bukan kesepakatan yang sempurna, tetapi membahas semua elemen penting dan termasuk kompromi yang diraih dengan susah payah oleh semua pihak".
Adapun kepala perunding nuklir Iran Ali Bagheri menulis di Twitter pada hari Selasa: "Koordinator telah membagikan idenya untuk menyelesaikan negosiasi.
"Kami juga punya ide sendiri, baik dalam substansi maupun bentuk, untuk menyimpulkan negosiasi yang akan dibagikan," sambungnya.
Diketahui, Kesepakatan Nuklir 2015 memberi Iran keringanan sanksi dengan imbalan pembatasan pada program atomnya untuk menjamin bahwa mereka tidak dapat mengembangkan senjata nuklir, sebuah ambisi yang selalu dibantahnya.
Tetapi setelah presiden AS saat itu Donald Trump menarik diri dari perjanjian itu pada 2018 dan Washington menerapkan kembali sanksi ekonomi yang menggigit, Iran mulai mengingkari komitmennya sendiri.
Pembicaraan di Wina, Austria yang dimulai pada April 2021 untuk memulihkan kesepakatan telah terhenti sejak Maret di tengah perbedaan antara Teheran dan Washington.
Kedua belah pihak bernegosiasi secara tidak langsung melalui koordinator Uni Eropa. Borrell mengatakan draf teks itu "mengatasi, dengan detail yang tepat, pencabutan sanksi serta langkah-langkah nuklir yang diperlukan untuk memulihkan" kesepakatan itu.
Baca juga:
- Gempa 7,1 SR Guncang Filipina Utara Terasa hingga Manila: Rumah Sakit dan Bangunan Rusak Parah, Layanan Kereta Bawah Tanah Dihentikan
- Rishi Sunak dan Liz Truss Adu Argumentasi Sengit Soal Pajak hingga Kesehatan: Moderator Pingsan, Siaran Langsung Debat Calon PM Inggris Dihentikan
- Sebut Eropa dan Amerika 'Bersaing' Melawan Rusia, Kremlin: Mereka Kehabisan Tindakan Menekan Kami
- Kehilangan Popularitas di Inggris, Warga Ukraina Gelar Petisi Pemberian Kewarganegaraan untuk Boris Johnson dan Jabatan Perdana Menteri
Dia mengatakan itu mungkin tidak mengatasi semua kekhawatiran AS tentang Iran, dan bahwa ada keraguan serius di Teheran tentang penerapan kesepakatan "setelah pengalaman negatif beberapa tahun terakhir". Tapi, menurutnya keputusan harus dibuat sekarang.
"Jika kesepakatan itu ditolak, kami mengambil risiko krisis nuklir yang berbahaya, bertentangan dengan prospek peningkatan isolasi bagi Iran dan rakyatnya," tandasnya.