Citayam Fashion Week
Anak-anak muda yang kumpul dengan berbagai gaya di trotoar Dukuh Atas, Jakarta mendadak populer. Anak muda asal Citayam hingga Bojonggede yang memadati Kawasan Sudirman itu viral di sosial media.
Anak-anak muda dengan gaya busana khas yang mayoritas dari kalangan biasa asal kota penyangga DKI Jakarta tersebut tidak hanya nongkrong tapi juga berlenggak lenggok bak model di zebra croos Dukuh Atas sehingga muncul sebutan “Citayam Fashion Week”.
Awalnya menuai beragam cibiran tapi belakangan malah bernuansa positif. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan mengajak pejabat keuangan Uni Eropa berkeliling mengunjungi Kawasan Dukuh Atas sekaligus melintasi zebra croos yang lagi viral tersebut. Tidak mau ketinggalan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun jauh-jauh dari Bandung ikut pula beraksi. Makin viral setelah model Paula Verhouven ikut berlenggak lenggok. Istri selebritas Baim Wong ini menjadikan zebra cross di Dukuh Atas seolah panggung catwalk.
Presiden Jokowi pun ikut berkomentar. Presiden menganggap aksi anak-anak Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok (SCBD) tersebut tidak boleh dilarang karena merupakan bentuk kreativitas. Menteri Pariwisata dan Eknomi Kreatif Sandiaga Uno membandingkan aksi Citayam Fashion Week seperti Harajuku di Jepang.
Betul, kreativitas anak muda dalam bentuk apa pun sejatinya jangan dilarang. Apalagi mereka membuktikan, untuk bergaya tidak perlu barang mahal dari merek terkenal. Sebuah kesempatan untuk mempopulerkan produk lokal dengan harga terjangkau. Bahkan aksi Bonge, Jeje Slebew dan kawan-kawannya tersebut secara tidak langsung membawa dampak ekonomi. Pedagang kaki lima seperti penjual gorengan dan kopi keliling ikut menikmati. Omzet mereka meningkat berpuluh-puluh kali lipat.
Lepas dari segala bentuk kreativitas, patut diingat, aksi anak-anak SCBD tersebut dilakukan di area umum. Zebra croos sejatinya adalah untuk menyebrang jalan yang diatur dalam Undang Undang. Bukan tempat fashion show. Stasiun Dukuh Atas juga merupakan area publik. Tempat warga Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) turun dari berbagai penjuru. Belum lagi aksi fashion show jalanan tersebut membuat macet. Motor parkir di area pinggiran jalan. Bahkan, saat akhir pekan aksi tersebut dilakukan hingga larut malam. Tergambar di berbagai media, bagaimana sebagian anak-anak yang terlibat di acara Citayam Fashion Week tidur di jalanan karena kecapekan dan tidak bisa pulang karena jadwal kereta KRL Sudirman-Citayam telah selesai.
Hal tersebut perlu menjadi perhatian serius. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan boleh saja tidak melarang, tapi apa yang diungkapkan Wakil Gubernur-nya Riza Patria patut dipertimbangkan. Perlu dipikirkan tempat khusus gratis yang tidak menganggu masyarakat berlalu lalang. Tidak membuat kemacetan dan kerumunan.
Tapi tempat yang dipilih harus dekat dengan akses transportasi publik, tidak menganggu lalu lalang warga atau kendaraan. Usul Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria untuk memindahkan ke area Monas atau Sarinah bisa dipertimbangkan.
Pastinya jika pejabat Pemprov DKI juga mesti memikirkan, bahwa Dukuh Atas dipilih menjadi tempat Bonge, Jeje Slebew dan kawan-kawan melakukan aksi bisa jadi lantaran akses yang mudah dijangkau. Dekat dengan transportasi publik. Di sana pun pedagang gorengan dan kopi keliling bisa dengan gampang berdagang. Hanya dengan uang Rp5 ribu, anak-anak muda ini bisa minum kopi sembari makan gorengan seharga Rp2 ribu. Kalau kemudian pindah dan lokasi jauh dari akses transportasi publik serta untuk ngopi dan makan cemilan harus mengeluarkan uang hingga puluhan atau ratusan ribu, rasanya akan sulit mengajak mereka pindah.
Mesti diingat, rata-rata anak yang terlibat di Citayam Fashion Week ini bukan dari kalangan berada. Mereka anak-anak muda kebanyakan, dari kalangan biasa yang ingin mengekspresikan diri.
Istilah Citayam Fashion Week sendiri sudah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM oleh perusahaan milik selebritas Baim Wong dan Paula Verhoeven. Jangan sampai setelah didaftarkan aksi unjuk kreativitas yang semula gratis ini jadi dikomersialkan dan mahal. Hanya orang berduit yang bisa menikmati.