AS Kembali Rajut Hubungan Usai Kasus Terbunuhnya Khashoggi, Arab Saudi Respons Hangat dengan Cegah Rusia Dekati Irak

JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan membahas harga minyak yang bergejolak selama pertemuan puncak KTT Arab di Jeddah pada Sabtu 16 Juli waktu setempat.

Pertemuan itu dihadiri para pemimpin enam anggota Dewan Kerjasama Teluk, termasuk Mesir, Yordania dan Irak.

Dalam helatan ini, Biden juga kembali merajut hubungan dengan Arab Saudi lebih baik lagi. Hubungan AS dan Saudi diketahui sempat merenggang akibat kasus terbunuhnya jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018.

AS sempat mencatat kasus itu merupakan pelanggaran HAM berat. Intelijen AS menuding Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) "menyetujui" operasi yang menargetkan terbunuhnya Khashoggi.

Media Al-Arabiya melaporkan, permasalahan itu telah diatasi AS dan Saudi dalam kujungan Biden kali ini. Pangeran Mohammed ditulis menyesalkan kejadian dan mengaku telah mengambil semua tindakan hukum untuk mencegah kasus seperti tersebut terulangnya kembali.

Di satu sisi, Al-Arabiya juga menyebutkan, Biden tertarik untuk kembali menggandeng Arab Saudi bergabung menjadi sekutu Teluk AS, sekaligus pengekspor minyak terbesar dunia dan pembeli senjata yag loyal.

Meski demikian, Biden menyebut ekpektasi AS kepada Saudi tidak bisa langsung terwujud. Pada Jumat 16 Juli, Biden bilang kesepakatan AS bersama Saudi tidak dapat terealisasi dalam sekejab.

Namun, di hari yang sama, Saudi memberikan pernyataan bahwa AS dan Saudi telah menandatangani 18 perjanjian di beragam sektor, termasuk energi, ruang angkasa, kesehatan dan investasi, dan pengembangan teknologi 5G serta 6G.

Biden yang pertama kali ke Arab Saudi sebagai presiden juga mengungkapkan, visinya tentang peran Washington di kawasan Arab agar tidak menyerahkan pengaruh ke Rusia dan China.

Sementara pejabat Washington mengungkapkan, visi AS disambut Saudi dengan jalinan keja sama dengan Irak. Saudi setuju menyediakan Irak sumber listrik yang lebih beragam. Irak sejauh ini ketergantungan listrik dan energi dari Iran.

Upaya itu sekaligus tindakan memotong uluran tangan Rusia yang belum lama ini terus menjanjikan Iran kestabilan. Presiden Rusia Vladimir Putin dalam waktu dekat dijadwalkan juga akan mengunjungi Iran.

"Rusia secara bertahap membuat kesepakatan dengan Iran. Kami melakukannya agar kawasan Timur Tengah lebih terintegrasi, lebih stabil, lebih damai dan sejahtera," kata pejabat itu, dikutip dari News.com.au, Sabtu 16 Juli.

"Kami tidak akan meninggalkan kekosongan di Timur Tengah untuk diisi oleh Rusia atau China," sambungnya.