Peta Masalah Vitalitas di Antara Pengguna Obat Kuat

Dikisahkan dalam "Kuasa Penis dalam Garis Sejarah Obat Kuat", penggunaan obat kuat adalah warisan panjang para pendahulu. Yang menarik, ada sistem kelas di dalamnya, yang bahkan terus bertahan hingga hari ini. Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Kuat karena Obat", lewat artikel ini, kami mencoba menangkap tren penggunaan obat kuat serta sistem kelas yang berlaku hari ini.

Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Kamis malam, 9 Januari tak begitu ramai. Dede --bukan nama sebenarnya-- baru saja selesai memeloroti terpal biru yang ia gunakan untuk menutupi gerobak kecil putihnya dari hujan. Tangannya kemudian sibuk menggulung ulang terpal sebelum ia tempatkan di sebuah kursi plastik dekat gerobak. Lagu dangdut terdengar dari telepon genggam yang ia letakkan di dekat kontak listrik yang menempel di gerobak. Sayup, berlawanan dengan desing mesin mobil dan motor yang lalu-lalang di sekitar.

"Ayo, Mas. Mau yang mana?" tanyanya, usai beberes.

Di hadapan kami, puluhan kotak merek obat kuat berjejer. Merek-merek terkenal macam Viagra dan Cialis diletakkan di bagian tengah. Di sekelilingnya, merek lain yang terdengar asing macam Spider, Go Sex, atau Jaguar juga melengkapi koleksi Dede. Tak cuma obat. Dede juga menyediakan jamu dan kopi seduh penambah vitalitas, serta krim oles bermerek Hajar Jahanam dan tisu mejik bermerek Magic Power.

"Kalau takut-takut, mau yang cepat, ya ini aja tisu atau yang oles, nih," kata Dede membujuk kami membeli dagangannya.

Dede menangkap kehadiran kami sebagai pelanggan lokalisasi sekitar. Pelanggan Dede kebanyakan dari kalangan itu, memang. Dia bilang, ada simbiosis yang terjalin antara pedagang obat kuat dan penyedia jasa lendir prostitusi, meski entah para pekerja seks komersial (PSK) betul-betul menyenangi aktivitas seks dengan pelanggan pengguna obat kuat atau tidak.

"Iya (kebanyakan pembeli pelanggan prostitusi). Kan ada pasti kan hubungannya (simbiosis)," tutur Dede.

Tim VOI kala mendatangi warung obat kuat Dede (Irfan Meidianto/VOI)

Mulai enggan menjawab pertanyaan, Dede kembali menawarkan kami produk obat kuat. Cialis dari China ia jual dengan harga Rp25 ribu per butir. Sedang pil biru Viagra ia jual dengan harga Rp50 ribu. Saat kami mempertanyakan efek samping terhadap kesehatan kami, Dede menyebut produk yang ia tawarkan nihil dari efek samping. Tak benar, tentu saja. Penggunaan obat kuat terlarang bagi beberapa orang dengan penyakit jantung dan darah tinggi atau pria usia di atas 40 tahun.

"Ya, enggak ada lah ... Enggak apa-apa lah, orang masih muda. Yang udah tua aja berani. Apalagi situ yang masih muda," tutur Dede.

Di warung obat kuat lain milik Martin di wilayah Jatinegara, Jakarta Timur, kami menemukan beberapa temuan berbeda. Jika Dede yang beroperasi di wilayah prostitusi Hayam Wuruk memiliki pelanggan yang didominasi pengguna jasa prostitusi, Martin justru memiliki pasar yang lebih beragam. Bukan berarti wilayah Jatinegara bersih dari prostitusi. Ratusan meter ke selatan, kita dapat menemukan lokalisasi kelas tiga, Gunung Antang.

"Di sini lebih macam-macam, sih. Ada yang beli pakai mobil, ada yang beli pakai motor. Rata-rata beli jalan. Jadi, enggak nentu pembelinya dari situ (Gunung Antang)," tutur Martin kepada tim VOI.

Jika Dede terus-terusan menjejali kami dengan merek masyhur macam Viagra dan Cialis, Martin justru memberi pilihan lain berupa obat kuat buatan lokal bermerek Jaguar. Harganya jauh lebih murah, dipatok Rp15 ribu per butir.

Menurut Martin, merek Jaguar tengah laku keras di kalangan pengguna obat kuat. Dengan harga yang murah, Jaguar dapat memberi efek yang menyamai Viagra atau pun Cialis. Kata dia, cara menggunakannya pun mudah. Tinggal meminum satu butir 30 menit sebelum main, vitalitas dijamin meningkat.

Kelas pengguna

Di Hayam Wuruk kami menemukan banyak pengguna yang mengonsumsi obat kuat untuk kepentingan rekreasi. Di Jatinegara, kurang lebih sama. Meski tak mendapat jawab setegas jawaban yang kami dapat di Hayam Wuruk, pengakuan salah satu pedagang, Martin, mengungkap eratnya hubungan penggunaan obat kuat dengan aktivitas prostitusi di sekitar kawasan.

Pemetaan kelas masih terjadi dalam penggunaan obat kuat. Namun, klasifikasinya bukan cuma menyoal strata sosial sebagaimana yang terjadi di zaman raja-raja. Jauh lebih kompleks. Klasifikasinya dapat dibagi berdasar tujuan menggunakan, treatment, hingga jenis obat-obat kuat yang digunakan. Seksolog, Dokter Boyke Dian Nugraha mengamini. Menurutnya, masalah penggunaan obat kuat amat kompleks. Diperlukan pengklasifikasian terhadap kelompok-kelompok pengguna obat kuat.

Berbicara Hayam Wuruk dan Jatinegara serta pola transaksi pembelian obat kuat di sana, sejatinya kita hanya sedang melihat ke dalam satu sudut persoalan tentang penggunaan obat kuat dan prostitusi. Padahal, menurut Boyke, persoalan obat kuat lebih luas dari itu.

Di kliniknya, Boyke kerap didatangi pasien-pasien dengan masalah seksual. Berbeda dengan yang datang ke warung-warung macam warung Dede dan Martin, mereka yang datang ke klinik Boyke biasanya menderita gangguan seksual karena kondisi medis.

"Di sini lebih banyak orang konsultasi dengan suami istri. Namanya juga (klinik) Pasutri. Jadi langsung berdua datang ... Saya ada gula ya enggak apa-apa, oke aja, kita kasih obat," kata Boyke kami temui di Klinik Pasutri, Tebet, Jakarta Selatan, Senin, 13 Januari.

Dokter Boyke Dian Nugraha (Irfan Meidianto/VOI)

Secara treatment pun berbeda. Boyke mengaku tetap mengedepankan perubahan perilaku secara alamiah untuk menangani persoalan vitalitas pasiennya. Pun jika ada treatment yang perlu dilakukan, Boyke akan mengedepankan fisioterapi dan penggunaan bahan herbal.

"Jadi kita lebih kepada konseling, menerapkan pola hidup sehat, obat-obatan herbal, fisioterapi itu satu paket supaya sembuh tidak ketergantungan pada obat," kata Boyke.

Di zaman sekarang, obat kuat muncul karena kebutuhan. Zaman mendorong orang hidup dengan pola yang tak sehat. Rutinitas dan kesibukan menyingkirkan kebiasaan berolahraga. Lalu-lalang manusia dan perkembangan transportasi secara ajaib bukannya menambah daya gerak manusia, tapi malah menguranginya. Hal-hal semacam ini turut memengaruhi kemampuan seksual laki-laki.

"Jadi, begini, laki-laki di Indonesia ini sudah tidak sehat. Pola hidupnya tidak sehat. Pertama, makanannya. Apalagi pekerja milenial yang pulang malam itu makanannya sudah pasti instan," tutur Boyke.

"Kemudian, dia kurang berolahraga. Apalagi kalau di Bekasi. Dia tinggalnya di around Jakarta, pulang malam pasti enggak sempat berolahraga. Kemudian makanannya. Kemudian stresnya berkepanjangan," tambah Boyke.

Melihat kompleksitas dalam klasifikasi pengguna obat kuat, sejatinya kita dapat melihat bagaimana persoalan ini telah menyentuh banyak aspek kehidupan. Tak cuma perkara gagah-gagahan. Ada kebutuhan seksual yang perlu dipenuhi rumah tangga.

Dan di balik segalanya, ada persoalan medis yang kadang tak disadari banyak orang, yang sejatinya amat terkait dengan kehidupan ranjang mereka.

Artikel Selanjutnya: Candu Sugestif Obat Kuat