Vitalitas telah lama jadi simbol keperkasaan laki-laki. Simbol itu turun-temurun memengaruhi perilaku seksual kaum adam. Zaman dahulu, raja-raja menggunakan ramuan untuk mempertegas keperkasaan mereka di ranjang. Zaman sekarang pun masih sama. Hanya bentuk dan polanya yang berubah. Lewat Tulisan Seri pekan ini kita lihat peliknya kehidupan seksual laki-laki, penggunaan obat kuat dan relasinya dengan simbol kekuatan. Ini dia, "Kuat karena Obat".
"Sang dewa senjata akas-akas, kurang baga lwih akase, kurang baga akukuh, ora nana patine."
"Sang dewa senjata akas-akas, kurang baga lwih akase, kurang baga akukuh, ora nana patine."
"Sang dewa senjata akas-akas, kurang baga lwih akase, kurang baga akukuh, ora nana patine."
Ucapkan mantra di atas sebelum menelan campuran bahan-bahan herbal macam akar kakas, merica sunti, serta cabe wungkuk ke dalam liang tenggorokan Anda. Dengan begitu, Anda telah menguasai ilmu penambah vitalitas ala lelaki kerajaan pada zaman dahulu. Zaman Kerajaan Mataram, tepatnya.
Mantra di atas biasa dirapal para lelaki kerajaan ketika hendak mengonsumsi resep Jalu Usada, rahasia penambah vitalitas pria kala itu. Kitab Serat Centhini VII Pupuh Dhandhanggula meriwayatkan penggunaan obat kuat versi pangeran dan raja-raja yang terbuat dari campuran akar kakas seukuran panjang zakar, merica sunti, serta cabe wungkuk. Dosisnya, masing-masing tujuh buah.
Campuran bahan di atas ditambahkan dengan garam lanang, arang kayu jati, serta seperempat gula aren dan pinet. Seluruh bahan harus ditumbuk hingga lembut pada siang hari sebelum dibentuk menjadi kapsul. Selain Jalu Usada, ada resep penambah vitalitas lain yang dikenal, yaitu Getah Pohon Pisang Benggala.
Yang satu ini terdiri dari campuran bahan seperti kunyit lanang, lemak daging, garam lanang, minyak wijen. Seluruhnya dicampur dengan air jeruk untuk kemudian diminum. Penggunaan obat kuat, dalam hal ini ramuan penambah vitalitas telah tercatat sejak zaman Kerajaan Mataram atau pada masa awal Surakarta.
Fakta yang menunjukkan lazimnya penggunaan obat kuat pada masa itu tercatat dalam Kitab Serat Centhini yang disusun tahun 1815. Kitab Serat Centhini ditulis oleh seorang pangeran yang kemudian menjadi Sunan Paku Buwana V.
Otto Sukatno, dalam Seks Para Pangeran (2002) menjelaskan tujuan penulisan Serat Centhini sebagai usaha dari kekuasaan pusat untuk memperluas tradisi pinggiran ke dalam tradisi Jawa yang besar. Namun, "apa yang diungkap di dalamnya lebih mewakili suara para bangsawan atau para pangeran Jawa, ketimbang suara (budaya) pinggiran," tulis Sukatno.
Simbol kuasa dan patriarki
Ada keterikatan kuat antara seks, keperkasaan, dan budaya patriarki. Memori kolektif yang mengakar sejak perilaku seksual para raja dan kebiasaan mereka menggunakan ramuan penambah vitalitas mempererat relasi antara obat kuat dengan budaya patriarki. Bahwa laki-laki harus berkuasa di atas perempuan. Pun dalam perkara persenggamaan.
Kebiasaan menggunakan ramuan penambah vitalitas pun diduga kuat berawal dari lingkungan kerajaan. Kitab Serat Centhini jadi medium menyebarnya kebiasaan itu. Ketika masyarakat luas membaca Kitab Serat Centhini yang memuat kehidupan seks kaum kerajaan dalam isinya, mereka tergerak mengikuti kebiasaan tersebut hingga penggunaan ramuan penambah vitalitas pun menyebar menjadi tradisi besar Jawa. Tujuan awal penulisan Serat Centhini pun tercapai.
Jika ditarik lebih ke akar, sejarah penggunaan ramuan penambah vitalitas boleh jadi banyak dipengaruhi oleh tradisi 'kawin-perang'. Dahulu, raja-raja Mataram menggunakan perkawinan sebagai salah satu strategi politik untuk mengukuhkan kekuasaan mereka. Sudah lazim, ketika memenangi perang, seorang raja, pati, dan petinggi kerajaan menikahi putri atau kerabat kerajaan perempuan yang kalah.
Saat Kerajaan Mataram berhasil merebut Surabaya di tahun 1625, misalnya. Kala itu, Sultan Agung, sultan ketiga yang memerintah pada periode 1613-1645, mengambil anak Pangeran Pekik, pemimpin Surabaya sebagai istri. Prinsip semacam ini juga berlaku untuk semua pangeran keturunan raja hingga meluas ke hajat hidup para bangsawan.
Raja-raja Mataram kala itu mempunyai dua permaisuri (garwa padmi) atau lebih. Mereka adalah Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Namun, itu baru permaisurinya. Para raja biasanya memiliki jumlah selir (garwa ampeyan) yang tak terhitung. Politik perkawinan itu juga jadi salah satu yang tercatat dalam Kitab Serat Chentini. Tradisi penggunaan obat kuat semakin masif dari sana, bagaimana para raja harus mengimbangi kehidupan seks dengan para permaisuri dan selirnya.
Relasi kuasa pun semakin kuat. Di kalangan penguasa Jawa, berkembang budaya yang mengangkat kewibawaan seorang penguasa --dalam hal ini raja-- ketika memiliki istri lebih dari satu. Segala kisah di atas tegas menggambarkan bagaimana relasi penggunaan ramuan penambah vitalitas --sebagai asal muasal obat kuat-- dengan simbol kuasa dan kekuatan serta patriarki.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Ida Ruwaida Noor membantu kita melihat perkembangan sejarah ini dalam kacamata yang lebih kontekstual. Menurutnya, tradisi turun-temurun ini telah menjelma jadi memori kolektif yang membawa pengaruh besar pada kehidupan seksual banyak orang hari ini.
"Kelelakian harus dibuktikan dengan keperkasaan. Tidak hanya urusan perang, tetapi juga ranjang," kata Ida kepada VOI, Senin, 20 Januari.
Tuntutan inilah yang menurut Ida membebani laki-laki. Kaum adam merasa perlu membuktikan keperkasaan hingga banyak dari mereka yang terjerumus dalam lingkaran setan penggunaan obat kuat dan sudut pandang seksual menyimpang. Penis, dengan segala simbol kekuatan turun-temurunnya seakan jadi variabel tunggal untuk hubungan seks yang berkualitas. Sesat.
"Gagasan atas penis inilah sumber kekuasaan laki-laki," tukas Ida.
Artikel Selanjutnya: Peta Masalah Vitalitas di Antara Pengguna Obat Kuat