Pertambangan Ilegal Marak Terjadi, Butuh Komitmen Penegak Hukum untuk Berantas
JAKARTA - Pertambangan tanpa izin (peti) untuk batu bara semakin marak di sejumlah tempat terutama saat harga komoditas sedang tinggi, sehingga dinilai membutuhkan komitmen dalam penegakan hukum untuk mencegah atau menanggulanginya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia di Jakarta, Rabu 13 Juli, mengatakan para pelaku usaha tambang batu bara tidak pernah berhenti melaporkan peti kepada pemerintah.
Anggota APBI yang dirugikan juga sudah melapor selain ke penegak hukum juga ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Hendra, pelaku usaha yang tergabung dalam APBI mendukung upaya pemerintah untuk menertibkan peti.
Sejak isu peti merebak lebih dari 10 lalu, APBI senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah menyampaikan data-data dan memfasilitasi upaya penegakan hukum untuk memberantas aktifitas tanpa izin tersebut.
"Masing-masing perusahaan tentu punya upaya-upaya internal untuk meminimalkan dampak peti dan juga melakukan koordinasi dengan aparat penegakan hukum," kata Hendra dikutip Antara.
Hendra menjelaskan jika melihat pola praktik selama ini, peti bisa dicegah atau ditanggulangi. Bahkan, bukan tidak mungkin peti dicegah. Tinggal menunggu momen pergerakan harga komoditas batu bara.
"Intinya adalah penegakan hukum. Aktivitas peti sejak dulu kerap terjadi jika ada lonjakan harga komoditas," katanya.
Dia menyebutkan pelaku usaha tidak berpangku mengandalkan pemerintah dan aparat penegak hukum. Berbagai cara dilakukan, termasuk membina masyarakat sekitar area operasi dan kerja sama juga dengan aparat hukum setempat.
Peti adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.
Berdasarkan data Ditjen Minerba Kementerian ESDM hingga kuartal III 2021, peti mencapai 2.700 lokasi. Sebanyak 2.645 lokasi peti mineral dan 96 lokasi peti batu bara. Aktivitas peti terbanyak berada di Sumatera Selatan.
Baca juga:
- Soal Penonaktifan Kadiv Propam Buntut Penembakan Brigadir J, Bambang Pacul: Terlalu Jauh, Harus Hati-hati
- IPW Minta Kadiv Propam Polri Dinonaktifkan, Pimpinan DPR: Tidak Ada Relevansi, Ferdy Sambo Juga Korban
- Polri: Brigadir J Coba Lecehkan Istri Kadiv Propam Saat Istirahat
- Komisi III Minta Kasus Penembakan Kadiv Propam Jadi Atensi Kapolri
Sunindyo Suryo Herdadi, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, sebelumnya mengatakan peti terus menjadi perhatian pemerintah.
"Diperlukan upaya bersama dan dukungan seluruh pihak untuk mendorong penanganan isu peti beserta dampak yang ditimbulkan," ujar Sunindyo.
Dari sisi regulasi, peti melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada Pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam Pasal 160.
Di Pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.