ACT Dibekukan, Bagaimana Seharusnya Mengelola Dana Sumbangan Masyarakat?
Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dibekukan Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia. Langkah ini menyusul sejumlah persoalan yang mendera ACT. Mulai dari gaji pengurus yang dianggap terlalu tinggi hingga penggunaan dana yang dianggap melanggar aturan.
Pencabutan itu dinyatakan dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan berbunyi “Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan".
Dari hasil klarifikasi, Presiden ACT lbnu Khajar mengatakan menggunakan rata-rata 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai dana operasional yayasan. Angka 13,7 persen tersebut tidak sesuai dengan ketentuan batasan maksimal 10 persen.
PPATK juga membekukan 60 rekening ACT. Diketahui aliran dana yang dikelola ACT tidak hanya mengalir di dalam negeri tapi juga mancanegara. Dari analisis yang dilakukan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap transaksi keuangan ditemukan adanya indikasi penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi dan ada dugaan aktivitas terlarang.
Bareskrim Polri juga menyelidiki dugaan penyimpangan dana bantuan oleh pengurus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk disalurkan kepada ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang terjadi pada 2018.
Menurut polisi, penyimpangan dana sosial yang berasal dari pihak pabrik pesawat Boeing itu diduga dilakukan oleh pengurus ACT, yakni mantan Presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar. Sebagian dana bantuan ke ahli waris diduga untuk kepentingan pribadi berupa pembayaran gaji dan fasilitas.
Jumlah dana sosial ini pun tak main-main. Berdasarkan keterangan Ahyidin dan Ibnu Khajar saat diperiksa penyidik, ACT menerima dana dari Boeing untuk disalurkan kepada korban sebagai dana sosial sebesar Rp138 miliar.
Pihak Boeing memberikan dua jenis dana kompensasi yaitu dana santunan tunai kepada ahli waris korban masing-masing sebesar Rp2,06 miliar serta bantuan nontunai dalam bentuk dana sosial sebesar Rp2,06 miliar (Total Rp4 Miliar lebih).
Dana Kemanusiaan
Dilansir dari Wikipedia, ACT melakukan aksi pertamanya tahun 1994 di Liwa, Lampung Barat dalam merespon bencana alam gempabumi. Kemudian resmi menjadi Yayasan Aksi Cepat Tanggap pada 21 April 2005. Sejak itu ACT berkembang pesat. Aksi relawan kemanusiaan ACT muncul setiap ada bencana. Bahkan sejumlah Pemda dan Pemprov bekerjasama. Termasuk DKI Jakarta. Dana yang dikelola juga fantastis. PPATK menyebut perputaran uang ACT per tahun mencapai Rp1 Triliun.
Sejatinya lembaga sosial yang mengelola dana sumbangan masyarakat itu baik. Tujuannya tentu untuk kemanusiaan. Membantu masyarakat yang ingin menyumbang. Karena memang tidak semua punya akses ke lokasi bencana misalnya. Tujuan yang mulia. Menggunakan dana sumbangan untuk operasional juga tidak dilarang dengan aturan yang diatur.
Soalnya adalah jika dana yang dikelola cukup besar atau bahkan raksasa. Ini menjadi godaan tersendiri. Jika gaji pengelola besar, yah sebenarnya oke-oke saja sepanjang memenuhi aturan yang 10 persen misalnya. Tapi menjadi tidak elok jika lembaga yang didirikan untuk kemanusiaan berubah menjadi semacam perusahaan atau bisnis.
Bahwa kasus ACT ini bisa menjadi pelajaran berharga soal filantropi. Banyak masyarakat Indonesia yang berjiwa dermawan. Jadi, mengelola dana kemanusian mesti hati-hati dan transparan. Pengelola juga harus amanah melaporkan setiap sen uang yang digunakan secara jelas. Rutin membuat laporan pemasukan dan pengeluaran untuk dilaporkan kepada masyarakat. Di awal pun akan lebih baik jika berapa persen untuk operasional sudah diinformasikan.
Pemerintah pun sudah harus memikirkan regulasi menyangkut kegiatan sosial terkait dana sumbangan masyarakat atau filantropi, baik itu soal akuntabilitas maupun sanksi jika terjadi kecurangan dalam penggunaan. Bisa juga dibuat aturan yang detail. Misal lembaga harus melakukan pelaporan rutin, bisa 6 bulan sekali terkait penggunaan dana yang dihimpun, atau ada regulasi soal audit, bukan sekedar pemeriksaan pajak.