Sejarah Hari Ini, 211 Tahun Lalu: Akhir Kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels di Nusantara pada 29 Juni 1811
JAKARTA – Sejarah hari ini, 211 tahun yang lalu, 29 Juni 1811, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels pulang ke Prancis. Hari itu kuasa Daendels di Nusantara resmi berakhir. Kepulangannya dikarenakan Napoleon Bonaparte membutuhkan jasanya. Kepergian Daendels pun disambut dengan gegap-gempita oleh pejabat Belanda di Nusantara.
Mereka rata-rata tak menyukai era Daendels. Sebab, Daendels banyak memutus mata rantai keuntungan mereka dengan reformasi birokrasi. Ia melawan korupsi. Namun, di mata kaum bumiputra Daendels tiada beda. Ia tetap penjajah.
Daendels adalah anak emas dari Napoleon Bonaparte. Kaisar Prancis itu kagum dengan kiprah Daendels dalam memimpin legiun Batavia saat Revolusi Prancis terjadi. Apalagi, Prancis mulai meluaskan wilayah kekuasaan ke Belanda. Alias Napoleon mulai menjajah Belanda. Karenanya, segala macam kekuasaan yang dipegang oleh Belanda di Nusantara jatuh ke tangan Prancis.
Daendels pun diutus untuk menjadi orang nomor satu di Hindia-Belanda pada 1808. Ia diharapkan dapat melakukan reformasi birokrasi. Meluruskan tindakan salah dan tanpa mengacaukan seluruh keadaan. Dia resmi menjadi Gubernur Jenderal pada 14 Januari 1808, menggantikan Albertus Henricus Wiese.
Daendels langsung tancap gas sedari awal mendaratkan kaki ke pusat kekuasaan Hindia-Belanda di Batavia. Ia memahami tugas yang diberikan oleh Napoleon via adik yang dijadikan raja Belanda, Louis (Lodewijk) Napoleon. Tugas itu antara lain menyelamatkan Jawa dari serangan Inggris. Kedua, membenahi sistem administrasi di Jawa.
Tugas itu dijalankannya dengan baik. Segala borok pemerintah Hindia-Belanda sejak masa lalu, seperti korupsi dan pungli segera diberantas. Pun celah-celah pejabat Belanda terdahulu untuk pungli segera ditutupnya. Bahkan, Daendels tak segan-segan menghukum mati pejabat Belanda yang ketahuan korupsi hingga merugikan pemerintah kolonial dalam jumlah besar.
“Salah satu tindakan yang diambil gubernur jenderal baru itu adalah reformasi total administrasi. Sampai masa Daendels semua wilayah Belanda sebelah timur Cirebon membentuk satu provinsi, provinsi pantai timur laut Jawa. Gubernur provinsi itu, karena berbagai tunjangan yang berkaitan dengan kedudukannya, menikmati penghasilan tahunan 100 ribu gulden, sementara kalau kita menerima perkataan Daendels, pemasukan wilayah itu praktis nol.”
“Dengan dekrit 18 Agustus provinsi itu dibagi ke dalam lima prefektorat dan 38 kabupaten. Semua pejabat menerima pangkat militer dan gaji memadai. Hadiah suap dari bupati-bupati Jawa, keuntungan istimewa, semua penyalahgunaan ini harus dihentikan,” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2018).
Sosok Daendels pun kesohor hingga pelosok negeri. Ketegasannya terkenal di mana-mana. Namun, banyak di antara pejabat Belanda justru tak menyukai kepemimpinan Daendels. Kepemimpinan Daendels dianggap mematikan banyak potensi pendapatan para pejabat Belanda selain dari gaji.
Kebencian terhadap Daendels menjadi-jadi. Dosa besar Daendels dalam membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan diulas berulang kali. Daendels pun menganggap sepi hal itu. Ia terus bekerja, sebab ia merasa dirinya sebagai representasi Napoleon di Tanah Jawa.
Akan tetapi, kekuasaan Daendels terbilang singkat. Pada 29 Juni 1811, Daendels pulang ke Prancis. Napoleon membutuhkan jasanya.
Baca juga:
- Gubernur Ali Sadikin dan Hiburan Malam di DKI Jakarta
- Sekolah Eropa untuk Etnis China Diusulkan Belanda dalam Sejarah Hari Ini, 28 Juni 1907
- Tanam Ganja untuk Obat Istri: Upaya Fidelis Selamatkan Nyawa Berujung Penjara pada 2017
- Sejarah Hari Ini 27 Juni 1906: Makassar Ditetapkan Belanda Sebagai Pelabuhan Wajib Pajak
“Pada 29 Juni 1811, Daendels berlayar kembali ke Eropa dari pelabuhan Surabaya. Pada bulan September 1811, ia diterima Napoleon Bonaparte di Paris,” tutup Angga Indrawan dalam buku Napak Tilas Jalan Daendels (2017).
Akhir kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels menjadi bagian dari sejarah hari ini, 29 Juni 1811 di Indonesia.