Tahun ini 13 Kasus Penyiksaan Masuk ke LPSK, Kabar Buruknya Praktik itu Bisa Jadi Jauh Lebih Banyak
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yakin praktik penyiksaan yang terjadi di Tanah Air masih sebatas fenomena "gunung es". Masih banyak kasus yang belum terungkap.
"Bisa jadi, peristiwa sesungguhnya lebih besar dari itu. Sebab, tidak semua masyarakat yang menjadi korban atau saksi punya keberanian untuk melapor," kata Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin 27 Juni dikutip dari Antara.
Berdasarkan data yang masuk ke LPSK, sedikitnya 13 kasus pada 2020, 28 kasus pada 2021 dan 13 kasus periode Januari hingga Mei 2022. Kendati demikian, Nasution yakin data itu belum tentu menggambarkan peristiwa sesungguhnya.
"Bisa jadi, peristiwa sesungguhnya lebih besar dari itu," kata dia.
Adapun tahapan penyiksaan yang masuk ke LPSK, kata Nasution, yang tertinggi pada tahap penangkapan. Kedua, ketika ada penyelidikan, ketiga, di luar proses hukum dan terakhir dalam masa tahanan.
Terkait pelaku dari penyiksaan tersebut ialah penyelenggara negara, aparatur negara dan pejabat publik.
Selain itu, LPSK juga menemukan pola penyiksaan yang dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat sipil dengan penyelenggara negara. Misalnya yang terjadi di Sumba.
"Yang menghasut oknum tentara melakukan kekerasan itu anggota DPRD," kata dia.
Fenomena demikian hingga kini masih saja terjadi dan tidak lepas dari situasi di Indonesia. Selain itu, persoalan substansi hukumnya juga belum mengatur soal mekanisme pencegahan penyiksaan dalam undang-undang induk yakni KUHP. Sebab, dalam KUHP yang diatur adalah norma kekerasan bukan penyiksaan.
Baca juga:
- MAKI Minta LPSK Beri Perlindungan Saksi Terkait Perkara Dugaan Korupsi Oknum Pejabat Kemenkumham Rutan - Lapas
- Bupati Langkat Nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin Didakwa Terima Duit Suap Rp572 Juta
- LPSK Jamin Lindungi Saksi dan Korban Meski di Daerah Sulit Akses
- Kabar Gembira untuk Korban DNA Pro, LPSK Mau Fasilitasi Pengajuan Restitusi
Di samping itu, meskipun Indonesia sudah meratifikasi Convention Against Turture (CAT) pada 1998, namun hingga kini belum meratifikasi protokol opsional konvensi dunia melawan penyiksaan atau Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT).
Tidak hanya itu, LPSK memandang belum semua aparat penegak hukum memiliki perspektif dan paradigma yang sama soal penyiksaan. Masih ada aparat hukum yang menyamakan kejahatan penyiksaan dengan kekerasan. Padahal, filosofi dan karakter keduanya berbeda.
"Penyiksaan itu kekerasan yang dilakukan aparat negara (di rumah negara atau tempat-tempat yang sejatinya negara menjamin keamanan warganya) untuk menggali informasi," jelas dia.