Jejak Sejarah Pewartaan Injil di Teluk Wondama Papua Barat: Pulau Roon yang Dijuluki 'Takhta Iblis' Sampai Alkitab Tua

PAPUA - Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat merupakan salah satu wilayah pusat penyebaran agama Kristen di Tanah Papua. Banyak tempat di Wondama menyimpan peninggalan yang menjadi bukti sejarah pewartaan atau pekabaran Injil di Tanah Papua, ratusan tahun lalu.

Sebut saja Bukit Aitumeiri di Miei, Wasior yang terkenal dengan situs batu peradaban karena menjadi tempat pertama kalinya orang asli Papua mengenal pendidikan formal. Juga Yende di Pulau Roon dengan warisan berupa gereja dan Alkitab tua.

Di Pulau Roon sendiri, tidak hanya Yende yang sarat dengan kisah pekabaran Injil tempo dulu. Syabes, kampung kecil yang berjarak kurang lebih tiga kilometer dari Yende ternyata juga menyimpan banyak jejak kekristenan di masa lalu yang belum banyak diketahui secara luas.

Awal mula orang Syabes mengenal agama Kristen dimulai dengan kehadiran Pendeta Rudolf Beyer, misionaris asal Eropa, pada 6 Mei 1866.

Beyer diutus dari Mansinam, Manokwari untuk mewartakan Injil bagi orang Roon yang ketika itu masih hidup dalam tradisi kafir alias belum mengenal Tuhan. Setahun kemudian, tepatnya pada Februari 1867, Beyer memutuskan menetap di Syabes.

Dia memboyong serta sang istri, Anna Cambier. Misi utama Beyer yakni mewartakan Injil bagi orang Syabes, ternyata tidak mudah. Dia mendapat tantangan dan penolakan hebat dari warga setempat yang masih primitif.

Beragam siasat dilakukan untuk bisa mengusir Beyer dari Pulau Roon yang pada masa itu dikenal dengan julukan "Pulau Takhta Iblis". Sampai akhirnya sang istri, Anna Cambier, menjadi korban. Anna Cambier meninggal dunia pada 3 Juni 1868.

Konon, Anna Cambier diracun oleh Rokowery, seorang panglima perang di Syabes yang sangat menentang pewartaan Injil. Anna Cambier dimakamkan di Syabes. Makamnya ada di atas Bukit Bindani.

"Tapi mungkin banyak orang yang belum tahu. Orang lebih tahu itu Yende," kata Bernadus Nehemia Rumadas, anggota Majelis Jemaat GKI Rudolf Beyer Kampung Syabes, usai perayaan 156 tahun Pekabaran Injil di Syabes, belum lama ini.

Nehemia menceritakan, Bukit Bindani yang terletak persis di bagian atas Kampung Syabes dahulunya merupakan tempat tinggal Rudolf Beyer bersama sang istri.

Di lokasi itu masih tampak gundukan tanah dan batu-batuan yang diyakini merupakan bekas rumah Beyer. Di tempat itu juga ada bangunan pendukung lainnya.

Selain rumah Beyer dan pusara Anna Combier, di Bukit Bindani terdapat pula makam seorang guru Injil asal Maluku yang bernama Dominggus Rissapary.

Rissapary diutus ke Syabes 41 tahun setelah kepergian Rudolf Beyer. Beyer meninggalkan Syabes dengan kekecewaan mendalam sepeninggal sang istri.

"Guru Rissapary inilah yang mengajarkan orang Syabes kesenian suling tambur sehingga sekarang orang Wondama bisa tahu main suling tambur," jelas Nehemia.

Makam guru Injil asal Maluku, Dominggus Rissapary, di Kampung Syabes, Pulau Roon. Rissapary berkarya di Syabes pada 1907 

Tidak Terurus

Meski menjadi bagian dari sejarah pekabaran Injil di Tanah Papua di masa lalu, pusara Anna Combier dan juga Dominggus Rissapary tampak tidak terurus.

Makam Anna Combier sendiri memang sudah dipugar menjadi kuburan semen namun terkesan asal jadi saja. Atapnya juga hanya ala kadarnya saja. Pun tidak ada batu nisan maupun papan nama sebagai petunjuk bahwa itu adalah makam istri dari seorang penginjil masa lalu.

"Ini yang buat dulu dari Dinas Pariwisata," kata Nehemia dilansir dari Antara, Selasa, 21 Juni. 

Sementara, makam guru Injil Rissapary baru dilakukan pemugaran beberapa waktu lalu menjelang perayaan 156 tahun Pekabaran Injil di Syabes. Dalam jangka waktu sekian tahun, makam tokoh penting sejarah pekabaran Injil di Tanah Papua itu nyaris tidak tersentuh perbaikan apapun.

"Jemaat di sini yang gotong royong membuat kubur Guru Rissapary. Karena kalau tidak dibuat begini (disemen, red.) bisa-bisa hilang," ucap Nehemia.

Warga berharap Pemkab Teluk Wondama memberi perhatian khusus terhadap makam Anna Combier dan Guru Rissapary, juga bekas rumah Rudolf Beyer maupun barang-barang peninggalan para misionaris zaman dahulu yang ada di Kampung Syabes.

“Atas nama Majelis Jemaat Rudolf Beyer Syabes, saya minta ke Pemkab Wondama, situs-situs ini agar dipugar kembali untuk menjadi aset sejarah gereja di Kabupaten Teluk Wondama. Ini semua adalah situs sejarah tapi terpendam sampai hari ini, tidak ada yang tahu karena tidak terurus," kata dia.

Alkitab tua

Jejak kekristenan di Syabes tidak hanya berupa makam istri Rudolf Beyer dan guru Injil Dominggus Rissapary. Syabes juga menyimpan Alkitab tua yang diperkirakan telah berumur lebih dari 200 tahun.

Alkitab berbahasa asing itu --diduga bahasa Belanda atau Jerman-- ditemukan di rumah bekas kediaman Pendeta Rudolf Beyer. Saat ini Alkitab tua itu telah diserahkan menjadi inventaris jemaat GKI Rudolf Beyer.

“Alkitab ini lebih tua dari Alkitab yang ada di Yende karena masih ditulis dalam bahasa Eropa. Kalau di Yende sudah menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa lain,“ jelas Eduard Yohan Manaw, Kepala Jemaat GKI Rudolf Beyer Syabes.

Dia menjelaskan Alkibat tua itu pertama kali ditemukan salah seorang warga ketika membersihkan bekas rumah Beyer. Selanjutnya, Alkitab itu diserahkan kepada ketua jemaat gereja setempat secara turun-temurun hingga generasi sekarang ini.

"Tahun 2006 saya pindah di sini baru diserahkan ke saya sebagai ketua jemaat. Saya bawa dan serahkan sebagai inventaris jemaat," ujar dia.

Alkitab tua itu disimpan sebagai harta waris peninggalan para zendeling. Saat ini, Alkitab tua itu disimpan di ruang khusus di gedung Gereja Jemaat Rudolf Beyer Kampung Syabes.

Buku suci itu pun hanya bisa dikeluarkan pada momentum penting, mengingat kondisinya yang sudah sangat tua.