'Bensin' dan 'Pasokan Darah' untuk Teroris Harus Jadi Fokus Pemerintah untuk Disetop

JAKARTA - Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia (UI) Solahudin meminta pemerintah dan aparat penegak hukum fokus memberantas sumber dana kelompok terorisme.

“Penegakan hukum memang harus mulai difokuskan kepada pendanaan. Kenapa terhadap pendanaan? Karena itulah bensinnya atau darahnya kelompok-kelompok itu,” ucap Solahudin kepada wartawan dalam konferensi pers Fenomena Ideologi Kontemporer di Indonesia di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin 20 Juni.

Meskipun kelompok-kelompok radikal mendapatkan berbagai tekanan dari publik, mereka masih bisa beroperasi karena mendapatkan dukungan logistik yang cukup melimpah.

Ironisnya, kata dia, dukungan logistik tersebut sebagian besar bersumber dari dana publik.

"Indonesia merupakan salah satu negara paling dermawan. Situasi inilah yang kemudian dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal untuk melakukan 'fundraising' (penggalangan dana), di mana sumber dananya dari publik,” ucapnya.

Keinginan untuk menyumbang acapkali mengakibatkan masyarakat menyumbang kepada kelompok teror tanpa mereka sadari, papar dia.

Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa negara harus melindungi masyarakat agar tidak menyumbang kepada kelompok-kelompok teror.

“Suatu kelompok teror punya lembaga amal yang berhasil mengumpulkan dana dari 2014 sampai 2019 dengan besaran lebih dari Rp100 miliar. Saya kira ini jumlah yang tidak main-main,” ucapnya.

Dengan demikian, Solahudin menyarankan agar apa yang telah dilakukan Densus 88 dalam menyasar kasus-kasus pendanaan teror maupun pendanaan kelompok radikal lebih difokuskan dan lebih dikuatkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya.

Ia meminta pemerintah untuk melakukan kontranarasi terhadap radikalisme melalui pendidikan. Langkah ini bertujuan untuk membangun daya tahan atau imunitas masyarakat agar tidak mudah terpapar paham radikal.

“Di sini memang sinergi menjadi sangat dibutuhkan,” ucapnya.

Terkait dengan anak-anak yang sempat bersekolah di sekolah yang terafiliasi Khilafatul Muslimin, Solahudin mengungkapkan kesedihannya.

“Karena bagi saya, itu semacam radikalisasi di usia dini. Menurut saya, negara penting untuk hadir dan mencegah itu,” ucapnya.

Apalagi, kata dia, pada beberapa generasi ke depan, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Apabila kontranarasi tidak segera dilakukan dan pendidikan radikal tidak segera diberantas, maka ia khawatir Indonesia malah melahirkan generasi yang lebih radikal.

“Saya merekomendasikan agar fokus kepada dunia pendidikan. Bagaimana membangun budaya resilience masyarakat. Lalu, sekali lagi saya sampaikan, penegakan hukum lebih difokuskan terkait pendanaan,” kata Solahudin.