Eksklusif, Abdul Halim Iskandar: Menyelesaikan Problem Desa, Selesaikan Indonesia

Menurut sensus 71 persen masyarakat Indonesia tinggal di desa, sisanya 29 persen bermukim di kota. Karena itu kata Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Jokowi, jika kita bisa menyelesaikan problem yang ada di desa, artinya kita sudah menyelesaikan problem Indonesia.

***

Kementerian Desa, PDTT menurut Dr. (HC) Drs. Abdul Halim Iskandar, M.Pd., dan seluruh jajarannya punya target untuk mengentaskan desa yang sangat tertinggal pada tahun 2024. “Saat ini desa yang sangat tertinggal ada 5.649, desa tertinggal ada 12.636, dan desa berkembang ada 38.082. Sedangkan desa maju ada 15.321 dan desa mandiri ada 3.269. Semoga di tahun 2024 nanti, desa yang sangat tertinggal sudah bisa dientaskan semua,” harapnya.

BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) menjadi menjadi pilar utama dalam membentuk kemandirian masyarakat di desa. “Memang kecendrungan dana desa di tahap awal pemanfaatannya hampir semua untuk infrastruktur. Namun sekarang di tahun 2022 sudah mulai bergeser pada persoalan ketahanan pangan dan pemberdayaan BUMDes. Saya kira ini menjadi tepat saat dunia sedang mengalami ketahanan pangan. Sudah banyak negara yang melarang eskpor bahan pangan yang mereka miliki,” katannya.

Selama ini menurut Gus Halim, begitu dia biasa disapa, pembangunan di desa masih berdasarkan keinginan bukan berdasarkan kebutuhan. Persoalan ini menjadi salah satu perhatiannya setelah dipercaya sebagai Menteri Desa dan PDTT. “Masih banyak perangkat desa dalam menyusun rencana kerja bukan berdasarkan pada masalah, tetapi berdasarkan pada keinginan. Dalam musyawarah desa ditekankan kalau saya ingin membangun ini, saya ingin membangun itu dan seterusnya. Kalau sudah seperti ini problematika bukan berdasarkan pada kebutuhan, tapi keinginan,” katanya.

Selama ini perencanaan pembangunan desa belum sepenuhnya menjadi solusi atas masalah yang ada di desa. Dari situ katanya, dirumuskan dengan merujuk pada perpres nomor 59 tahun 2017 tentang percepatan pencapaian tujuan pembagunan nasional berkelanjutan yang dirumuskan dalam bentuk SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) Desa. Seperti apa pengejawatahannya, kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai dari VOI, ia menjelaskan persoalan ini. Inilah petikan wawancara selengkapnya.

Target yang diusung Abdul Halim Iskandar tahun 2024 desa sangat tertinggal bisa dietaskan. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga /VOI)

Desa dan daerah tertinggal mendapat perhatian dari Presiden Jokowi, dari seluruh desa yang ada di Indonesia berapa banyak yang masuk kategori desa tertinggal?

Saat ini yang masuk katagori desa itu ada 74.961, desa yang mendapatkan dana desa sebanyak 74.960. Kenapa berbeda, karena ada satu desa yang penduduknya nomaden di daerah Kalimantan Tengah. Kategori desa dalam indeks pembangunan kita ada desa mandiri, maju, berkembang, tertinggal dan sangat tertinggal. Ada juga yang mengklasifikasikan menjadi desa mandiri, desa berkembang dan desa tertinggal.

Indeks Desa Membangun (IDM) mencakup Indeks Ketahanan Sosial, Indeks Ketahanan Ekonomi dan Indeks Ketahanan Lingkungan. Status  perkembangan desa menurut IDM menjadi salah satu basis pengalokasian dana desa. Dalam kurun waktu 2015-2021 Desa Sangat Tertinggal berkurang 7.804 desa, dari 13.453 desa menjadi 5.649 desa. Desa Tertinggal berkurang 20.956 desa, dari 33.592 desa menjadi 12.636 desa. Desa Berkembang bertambah 15.200 desa, dari 22.882 desa menjadi 38.082 desa. Sedangkan Desa Maju bertambah 11.713 desa, dari 3.608 desa menjadi 15.321 desa. Dan Desa Mandiri bertambah 3.095 desa, dari 174 desa menjadi 3.269 desa. Semoga di tahun 2024 nanti, Desa Yang Sangat Tertinggal sudah bisa dientaskan semua.

Parameter Desa Tertinggal dan Desa Sangat Tertinggal itu apa saja?

Ada ada 3 parameter yang menjadi patokan selama ini; sosial budaya, infrastruktur dan ekonomi. Infrastruktur ini cenderung sudah tertangani dengan bagus, memang kecendrungan dana desa di tahap awal pemanfaatan hampir semua untuk infrastruktur. Namun sekarang di tahun 2022 sudah mulai bergeser pada persoalan ketahanan pangan. Saya kira ini menjadi tepat saat dunia sedang mengalami ketahanan pangan. Sudah banyak negara yang melarang eskpor bahan pangan yang mereka miliki.

Alhamdulilah kita sudah kebijakan seperti itu, kalau  20 persen dari dana desa digunakan untuk ketahanan pangan untuk level desa. Yang kita garap hari ini bagaimana  ketahanan pangan di desa itu tertata secara bagus. Misalnya kita punya Desa Peternakan Terpadu Berkelanjutan, ada sapi, kambing, ayam, ikan, dan holtikultura,  dalam satu kawasan. Sepuluh desa bisa menyatu dalam satu kawasan membentuk BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Ke depan kita tekankan untuk setiap desa. Kebutuhan pangan di tiap desa benar-benar dihitung, apakah 20 persen dana desa bisa digunakan untuk ini atau 50 persen, silahkan. Yang penting semua dikelola oleh BUMDes. Kenapa BUMDes, karena pemerintah desa tidak boleh berbisnis.

Desa yang bisa menjadi contoh di daerah mana?

Ada satu desa di daerah Kabupaten Bandung yang sudah melakukan dengan bagus. Hasil dari pengelolaan itu dijual ke warung, warga yang merawat ayam dan hewan ternak. Nanti BUMDes yang membeli hasil panen ternak, dan BUMDes juga yang memasarkannya kembali ke warung-warung yang ada di desa. Jadi semuanya berputar di desa. Makin banyak uang yang berputar di desa menjadi salah satu indikator kesejahteraan.

BUMDes itu adalah koperasi dalam skup yang lebih luas. Tugas BUMDes adalah mensejahterahkan warga. Bedanya dengan koperasi yang mensejahterahkan anggota koperasi saja. Karena itu saya tekankan jangan sekali-sekali membentuk BUMDes yang unit usahanya sudah dilakukan oleh warga. Kalau itu dilakukan BUMDes akhirnya merugikan warga.

Yang kedua selalu saya tekankan pada Aparat Desa, BUMDes tidak selalu harus berorientasi pada kontribusi pada APBDes. Jangan punya pikiran yang sama dengan BUM Daerah. Bahkan seandainya ada BUMDes yang memfasilitasi warga dan output-nya mensejahterahkan warga, namun tidak berkontribusi pada PADes engga apa-apa. Yang penting rakyatnya yang sejahterah.

Menurut Abdul Halim Iskandar, BUMDes bisa menjadi penggerak ekonomi di desa. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga /VOI)

BUMDes mana yang bisa menjadi contoh, agar bisa menjadi acuan bagi daerah lain?

Banyak BUMDes yang bisa menjadi contoh. Salah satunya di daerah Prambanan, ada BUMDes yang mendapat support dari perusahaan minuman Danone. Donone memberikan pendampingan pada BUMDes untuk mengolah limbah kayu untuk dibuat peti untuk kemasan. CSR mereka digunakan untuk membeli alat produksi dan pendampingan. Ini adalah contoh BUMDes yang bersinergi dengan dunia industri.

Ada juga di daerah Klaten BUMDes yang bikin usaha, menghusahakan internet murah untuk warga. Cuma ada sedikit kendala, fiber optic harus melintasi bawah rel. Mulanya BUMDes harus membayar 30 juta pertahun, namun saya komunikasikan dengan PT KAI, akhirnya bisa selesai. BUMDes tidak harus bayar, karena sama sekali tidak merusak dan merugikan PT KAI.  Fiber optic-nya lewat selokan yang ada di bawah rel. Kita terus menggalakkan agar transformasi ekonomi, transformasi digital terus berjalan di desa melalui BUMDes yang ada.

BUMDes Sekapuk, Desa Sukorejo Sidayu, Gresik, Berdiri: Maret 2009. Net Profit BUMDes pada 2020 mencapai Rp4 Miliar dan sebesar Rp1,5 Miliar masuk ke PADes. Unit usahan yang dijalankan:  Pengelolaan Wisata Selo Tirto Giri (Setigi/Bukit Air), produksi jajanan, dan catering. Ada juga BUMDes Lohjinawi, Desa Galengdowo, Jombang. Hampir 70 persen sumber pendapatan masyarakat dari pemerahan sapi. BUMDes berperan sebagai konsolidator menampung dan mengelola secara mandiri hasil peternakan susu sapi warga. Dan masih banyak lagi BUMDes yang berhasil dan bisa menjadi contoh daerah lain.

Pandemi membuat kita dipaksa melek teknologi, bagaimana Kementerian Desa melihat persoalan SDM di desa terutama desa tertinggal?

Warga masyarakat yang tinggal di desa menurut sensus 71 persen. Sisanya 29 persen tinggal di kota. Artinya kalau kita menyelesaikan problem yang ada di desa sebenarnya kita sudah menyelesaikan problem Indonesia.

Masalah SDM menjadi mendesak dan penting sekali. Karena itu kami menjalin sinergitas dengan perguruan tinggi yang kita sebut Pertides (Perguruan Tinggi untuk Desa), lalu dengan seluruh kementerian dan lembaga yang terkait. BUMDes yang bagus kita minta STAN melakukan pendampingan dalam bidang pembukuan. BUMDes kalau tidak didampingi tidak jalan. Karena itu kami minta perguruan tinggi lainnya di daerah ikut memberikan pendampingan. Karena SDM-nya terbatas. Belum lagi ada perangkat desa yang mengutamakan saudaranya menjadi pengurus BUMDes padahal tidak kompeten, ini juga menjadi problem sendiri.

Untuk prioritas penggunaan dana desa seperti apa idealnya?

Jujur saya akui bahwa masih banyak desa-desa kita, ada perangkat desa dalam menyusun rencana kerja bukan berdasarkan pada masalah, tetapi berdasarkan pada keinginan. Dalam musyawarah desa ditekankan kalau saya ingin membangun ini, saya ingin membangun itu dan seterusnya. Kalau sudah seperti ini problematika bukan berdasarkan pada kebutuhan, tapi keinginan.

Artinya perencanaan pembangunan belum sepenuhnya menjadi solusi atas masalah yang ada di desa. Dari situ kita rumuskan dengan merujuk pada perpres nomor 59 tahun 2017 tentang percepatan pencapaian tujuan pembagunan berkelanjutan kita rumuskan dalam bentuk SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) Desa.

Kita menggunakan diksi yang sederhana 17 goals seperti yang ada di SDGs Global, tetapi untuk desa kita tambah satu menjadi 18. Desa Tanpa Kelaparan, Desa Sehat dan Sejahtera, Pendidikan Desa Berkualitas, Keterlibatan Perempuan Desa, Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi. Lalu Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan, Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, Infrastruktur dan Inovasi Desa Sesuai Kebutuhan, Desa Tanpa Kesenjangan, Kawasan Permukiman Desa Aman dan Nyaman, Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan.

Kemudian, Desa Tanggap Perubahan Iklim, Desa Peduli Lingkungan Laut, Desa Peduli Lingkungan Darat, Desa Damai Berkeadilan, Kemitraan untuk Pembangunan Desa, serta Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemutakhiran dan pemanfaatkan data yang ada di desa berbasis SDGs. Data ini bukan hanya diperbarui, dipakai saja tidak. Sampai saat ini 40.000 desa sudah bisa mengetahui berapa kemiskinan di desa. Dan apa saja masalah yang ada sesuai dengan SDGs yang ada.

Ke depan dalam Musdes / RKP perdebatannya berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, bukan lagi berdasarkan saya ingin membangun apa dan di mana. Ini yang saya inginkan, desa punya data yang valid, akurat dan terpakai.

Ini tugas yang berat, sementara masa bakti Anda sebagai menteri sudah tak lama lagi?

Memang ini bukan tugas yang ringan, bahkan sampai saya selesai masa bakti sebagai menteri pun belum tentu akan tuntas. Setidaknya saya sudah meletakkan dasar-dasar SDGs yang akan diwujudkan di tahun 2030.

Saya juga selalu menekankan dalam pembangunan desa jangan sekali-kali keluar dari akar budaya yang sudah ada. Kalau tidak pembangunan kita akan rapuh, tapi kalau berdasarkan ada dan budaya akan kokoh. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat kita tetap bertumpuh pada budaya kita.

Dalam menghadapi pandemi COVID-19 seperti apa yang dilakukan di desa?

Dalam masa pandemi, desa juga  ikut andil dalam mencegah sebaran COVID-19. Dana desa sebagian digunakan untuk membangun fasilitas rumah isolasi dan karantina di tingkat desa dan dukuh. Warga desa yang akan keluar dan mengunjungi daerah lain yang status PPKM-nya tinggi juga disarankan untuk menunda perjalanannhya sampai situasinya melandai. 

Ternyata Abdul Halim Iskandar Masuk Kelompok Lord of The Ring 

Abdul Halim Iskandar kini sudah masuk kelompok Lord of The Ring. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga /VOI)

Abdul Halim Iskandar yang kini menjabat sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) tidak menyangka dirinya akan masuk dalam golongan Lord of The Ring. Alias orang yang sudah terpasang ring di dalam tubuhnya. Setiap tahun dia melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh (general check-up) untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Meski sibuk dengan dengan tugas negara dan beragam aktivitas organisasi, komunikasi dengan keluarga tak pernah dilupakan. “Anak saya itu 3 orang, yang pertama dan kedua sudah berkeluarga. Yang paling kecil masih kuliah semester 4. Jadi relatif sudah tidak ada masalah untuk anak. Dalam setiap kegiatan saya minta istri saya untuk mendampingi,” kata pria kelahiran Jombang, Jawa Timur 14 Juli 1963 ini.

Kenapa harus selalu dengan istri? Ternyata ini sebabnya, “Saya ini sudah termasuk dalam kelompok The Lord of The Ring. Jadi di sini (menunjuk dada) sudah terpasang ring,” ungkapnya.

Ada berapa ring yang dipasang? “Ada dua titik yang dipasang ring, tapi ringnya ada tiga di dua titik itu,” lanjutnya.

Menurut Gus Halim –begitu dia biasa disapa— dia sampai harus pasang ring sebelumnya tanpa gejala sama sekali. “Alhamduillah tanpa gejala atau serangan jantung. Pagi saya masuk rumah sakit untuk dilakukan tindakan pemasangan ring, keesokan harinya sudah bisa pulang,” katanya. “Karena itu saya tak bisa merasakan beda antara setelah dan sebelum dipasang ring, soalnya saya tidak mengalami serangan jantung,” lanjutnya.

Gus Halim banyak ditanya kok dia sampai harus pasang ring padahal tak ada gejala. “Saya itu kan setiap tahun general check up, saat melakukan treadmill, dokternya bilang ada yang harus ditindaklanjuti oleh dokter jantung. Tapi setelah disarankan seperti itu baru dua tahun kemudian saya tindaklajuti. Setelah bertemu dokter jantung, dia melihat hasil CT Scan, yang mencurigakan,” katanya.

Akhirnya, dokter menyarankan untuk diperiksa dengan kateter. “Dari pemeriksaan itu baru ketahuan kalau ada saluran coroner yang fungsinya tinggal 5 persen. Dokter bilang kalau saya olahraga berlebihan bisa berbahaya. Saya bilang untung saya tidak pernah olahraga yang berlebihan,” katanya sembari  terkekeh.

Masih kata dokter yang memeriksanya, kalau dirinya olahraga berlebih dalam kondisi demikian, bisa berakibat seperti yang dialami mendiang Adjie Massaid dan pelawak Basuki. Lalu Gus Halim menanyakan kepada dokter tindakan apa yang bisa dilakukan? “Dokter bilang harus pasang ring,” katanya.

Akhirnya dipasanglah ring.  “Saat itu saya bertanya seperti apa terkena serangan jantung. Dan saya bisa merasakan ada tak enak di dada, ternyata seperti itulah serangan jantung itu. Dokter bilang kalau merasakan hal seperti itu jangan berspekulasi langsung ke UGD,” katanya.

Jaga Kesehatan

Dengan kondisi sudah terpasang ring di saluran coronernya, membuat Gus Halim, bekerja dengan enjoy. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga /VOI)

Dengan kondisi sudah terpasang ring di saluran coronernya, membuat Gus Halim,  bekerja dengan enjoy. “Pengalaman saya ketika kita bekerja dengan riang gembira, yang saya rasakan sehat terus, alhamdulillah. Artinya saat kita bekerja dengan enjoy dan senang hati badan ini tidak merasa sakit,” katanya.

Selama pandemi COVID-19 lalu, hingga kini dia tidak pernah terpapar COVID-19. “Padahal selama COVID-19 melanda saya alhamdulillah tidak henti beraktivitas, terus keliling dari satu daerah ke daerah yang lain menjalankan tugas sebagai menteri dengan tetap menjalankan protokol kesehatan tentunya,” katanya.

Tips lainnya yang dilakukan Gus Halim adalah menjaga pola makan. “Saya memang tidak ada pantangan dalam urusan makanan, namun saya menjaga dan membatasi agar tidak berlebih. Itu yang saya lakukan agar tetap sehat seperti saat ini,” akunya.

Pantang makanan sejauh ini katanya tidak ada. “Yang saya lakukan adalah mengurangi saja, telur misalnya yang saya makan putihnya saja, kuning telur saya tidak makan. Untuk sate juga demikian juga, hanya dagingnya saja tanpa lemak. Jadi tidak ada yang dipantang untuk makanan, namun asupannya proporsional dan tidak berlebih,” katanya.

Olahraga diakui kakak kandung Ketua PKB Muhaimin Iskandar ini, ia memang tak punya satu bidang olahraga yang benar-benar digemari. “Saya sebenarnya tidak punya olahraga yang khusus ya. Paling yang saya lakukan senam dengan mengikuti arahan melalui YouTube. Yang engga berat saya ikuti dan yang berat enggak saya ikuti, begitu saja,” kata Halim kecil yang senang dengan sepakbola ini.

Minuman tradisional yang rutin ia minum adalah jahe merah.  “Hampir setiap pagi saya mengonsumsi minuman jahe merah untuk menjaga kesehatan dan stamina tubuh,” kata Abdul Halim Iskandar.

Inovasi

Abdul Halim Iskandar tak henti mendorong anak muda untuk berinovasi. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga /VOI)

Gus Halim menyarankan kepada anak muda untuk tidak perlu ke kota meninggalkan desa, karena sekarang desa itu sudah banyak yang bagus. “Desa sekarang sudah banyak yang bagus. Desa butuh generasi muda yang punya semangat dan punya inovasi,” katanya.

Saat ini, kota sudah tidak menjanjikan. “Sekarang kota sudah tidak menjanjikan, justru desa yang menjanjikan. Ada BUMDes misalnya yang butuh tenaga muda yang terampil dan professional,” katanya.

Kalau mau kerena, lanjut Gus Halim, BUMDes bisa menggunakan istilah kekinian seperti Direktur BUMDes, CEO BUMDes dan sebagainya. “Silahkan menggunakan istilah yang biasa digunakan orang kota. BUMDes sekarang sudah ada yang ekspor ke luar negeri,” katanya.

Anak muda di desa sekarang banyak yang berinovasi. “Di daerah Sukabumi ada yang menarik, di salah satu desa ada yang membuat koin untuk WiFi. Cukup dengan memasukkan koin Rp500 bisa internetan selama 1,5 jam. Ini sudah saya sarankan untuk didaftarkan Haki-nya ke Kemenkumham,” katanya.

>

Kemendes memberi ruang untuk memfasilitasi pendaftaran ini. “Yang penting sekarang kita harus punya semangat. Semangat untuk terus berinovasi. Saya yakin Indonesia akan maju dan cepat mencapai kemajuan yang berangkat dari desa. Tapi dengan  catatan generasi muda tidak pergi ke mana-mana, terus membangun desa bersama kita,” kata Abdul Halim Iskandar

Masyarakat Indonesia yang tinggal di desa menurut sensus 71 persen. Sisanya 29 persen tinggal di kota. Artinya kalau kita menyelesaikan problem yang ada di desa sebenarnya kita sudah menyelesaikan problem Indonesia.

Abdul Halim Iskandar