INDEF: Koordinasi Kementerian yang Dipimpin Airlangga, Luhut, dan BKPM Tak Berjalan Efektif
JAKARTA - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo DP Irhamna menilai, UU Cipta Kerja yang dianggap memudahkan invetasi ini, hanya membahas mengenai perizinan. Justru hal penting mengenai kelembagaan dalam urusan penanaman modal hingga perencanaan proyek investasi tak disinggung.
Seharusnya, kata Ariyo, klaster investasi yang terdapat di dalam UU Cipta Kerja membahas mengenai aspek yang lebih fundamental dan strategis. Seperti kelembagaan yang membahas harmonisasi fungsi setiap lembaga.
Saat ini, lanjut Ariyo, terdapat tiga lembaga yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan koordinasi dalam bidang penanaman modal yaitu Kemenko Perekonomian, Kemenko Marves, dan BKPM. Namun, sayangnya koordinasi antar lembaga ini dinilai tidak efektif.
Contoh yang terbaru yaitu Permendag Nomor 68 Tahun 2020 yang mengharuskan perusahaan yang melakukan impor wajib memiliki persetujuan impor (PI) dan laporan survey (LS). Peraturan ini muncul tanpa melihat perusahaan yang melakukan impor untuk di manufaktur di Indonesia dan melakukan ekpos.
"Permendag ini menyebabkan ratusan perusahaan tidak dapat melakukan produksi yang ditujukan untuk ekspor. Jadi Permendag salah satu contoh terbaru ekosistem dalam aspek kelembagaan ini bermasalah dan harus diatasi," tuturnya, dalam diskusi virtual, Senin, 19 Oktober.
Kemudian, perencanaan proyek investasi, salah satunya pemilihan lokasi proyek. Selama ini, kata Ariyo, pemilihan lokasi proyek ditentukan oleh daerah dan juga dari pusat. Karena itu, harus didesain betul lokasi proyek yang prospektif dari segi bisnis dan yang memiliki dampak bagus untuk perkonomian nasional dari pelaku usaha dalam negeri.
Baca juga:
"Untuk proyek investasi karena tugas dan fungsinya ada di tiga lembaga, hal ini sering membuat daerah menghadapi kebingungan bahkan dalam beberapa kegiatan koordinasi itu memang menciptakan proses perencanaan tidak optimal," jelasnya.
Kata Aryo, ketika berbicara invetasi pemerintah juga harus memikirkan bagaimana mitra lokal, dan UMKM yang dilibatkan. Termasuk, skema alih teknologi penggunaan tenaga kerja lokal.
Lalu, pengawasan investasi. Fungsi ini tidak hanya untuk mengatasi hambatan investor tetapi juga mendorong investor eksisting untuk melakukan ekspansi bisnis dan melakukan alih teknologi.
Sudut Pandang
Lebih lanjut, Ariyo mengatakan, perencanaan investasi juga tidak didesain untuk peningkatan produktivitas pelaku ekonomi dalam negeri. Kata dia, pemerintah dalam melihat investasi masuk sudut pandangnya masih berbicara sebatas nilai investasi.
"Masih melihat nilai investasinya berapa, padahal jika dirunut pada nilai filosofinya investasi itu tidak hanya berbicara nilai investasi tetapi dampak atau kontribusi investasi itu terhadap produktivitas pelaku dalam negeri," ucapnya.
Contoh konkretnya, misalnya ada perusahaan BUMN yang sebelumnya kapasitas produksinya hanya mampu bermain di tingkat domestik. Dengan adanya investor asing ini, BUMN tersebut bisa meningkatkan kapasitas usahanya bisa menjadi pemain global. Kerangka tersebut, membuat strategi investasi yang ada di Indonesia harus didorong ke arah sana.
"Jadi misalnya pemerintah mau mendorong mobil listrik, kerangka yang dibangun pemerintah kan hanya sebatas di hulu nikel baterai. Tapi sayangnya pembangunan nikel baterainya belum di tahap hilir, masih sangat jauh sekali. Kenapa? Karena itu tidak melibatkan pemangku kepentingan lainnya misalnya lembaga riset padahal ini penting sekali kita bicara IPA lembaga riset untuk investasi karena di sana harus ada alih teknologi itu," jelasnya.
Kemudian, kata Ariyo, proyek investasi yang didesain untuk ditawarkan kepada investor juga masih belum disusun berdasarkan kebutuhan investor.
"Jadi kesimpulannya klaster investasi pada UU Cipta Kerja hanya membahas mengenai perizinan, hal ini membuat UU Cipta Kerja menjadi terlalu teknis dan tidak strategis untuk produk setingkat UU," tuturnya.