Darurat Unjuk Rasa di Thailand: Pemerintah Setempat Keluarkan Larangan Berkumpul
JAKARTA - Ribuan demonstran anti-pemerintah Thailand tumpah ke jalan-jalan Ibu Kota Bangkok, menuntut adanya perubahan konstitusi, diakhirinya pemerintah Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, dan menyerukan reformasi monarki. Gelombang massa yang terus mendesak, membuat pemerintah Thailand mengeluarkan larangan agar warganya tak berkumpul lebih dari lima orang atau lebih dan publikasi berita atau pesan daring yang dapat membahayakan keamanan nasional.
Pasca peraturan tersebut diterapkan, pihak berwenang telah menangkap dua pemimpin protes anti-pemerintah, Arnon Nampa dan Panupong Jadnok, kata kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand yang dikutip The Guardian, Kamis 15 Oktober.
"Pihak berwenang menangkap Arnon dan Panupong pada jam 5 pagi," kata kelompok hak asasi tersebut, sambil menerangkan bahwa Arnon ditangkap atas pidatonya di kota utara Chiang Mai. Sementara alasan penangkapan Panupong, masih belum jelas. Kemudian pemimpin mahasiswa Panusaya Sithijirawattanakul terlihat dibawa pergi oleh polisi dengan kursi roda saat dia memberi hormat tiga jari kepada para juru kampanye pro-demokrasi.
Protes di Thailand terus meningkat selama tiga bulan hingga ada beberapa yang sampai mendirikan kemah di luar kantor Perdana Menteri (PM) Thailand Prayuth Chan-ocha, menuntut agar dirinya mundur dari jabatan. Pemerintah mengatakan pihaknya telah mengambil tindakan setelah demonstran menghalangi iring-iringan mobil kerajaan.
"Sangatlah penting untuk memperkenalkan tindakan mendesak untuk mengakhiri situasi ini secara efektif dan segera untuk menjaga perdamaian dan ketertiban,” televisi pemerintah mengumumkan.
Dalam pengumuman itu, pemerintah menjabarkan peraturan baru, termasuk imbauan agar tak ada pertemuan besar. Selain itu pemerintah juga melarang orang memasuki area-area yang telah ditetapkan pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga melarang adanya publikasi yang dapat mengancam stabilitas nasional. "Publikasi berita, media lain, dan informasi elektronik yang berisi pesan yang dapat menimbulkan ketakutan atau sengaja memutarbalikkan informasi, menciptakan kesalahpahaman yang akan mempengaruhi keamanan atau perdamaian dan ketertiban nasional," seperti diumumkan pemerintah.
Menuntut reformasi monarki
Puluhan ribu pengunjuk rasa melakukan aksi di Bangkok sejak Rabu 14 Oktober. Para pengunjuk rasa yang menempati ruang di luar kantor PM Prayuth di Bangkok dibebaskan oleh polisi pada Kamis pagi, kata seorang saksi mata.
Gerakan protes bertujuan untuk menyingkirkan Prayuth, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014 yang dimaksudkan untuk mengakhiri kekerasan selama satu dekade antara pendukung dan penentang pendirian negara. Mereka yang turun ke jalan juga menginginkan konstitusi baru dan menyerukan pengurangan kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn.
Para pengunjuk rasa meneriaki iring-iringan mobil raja pada Selasa 13 Oktober setelah terjadi penangkapan 21 pengunjuk rasa. Pada Rabu, beberapa pengunjuk rasa memperlambat konvoi yang membawa Ratu Suthida, memberi hormat tiga jari dan meneriakkan "keluar" pada polisi yang melindungi kendaraan.
Para ahli mengatakan minggu ini bisa menjadi momen penting untuk gerakan protes yang sedang berlangsung di Thailand yang menyerukan konstitusi baru, pembubaran parlemen dan pengunduran diri PM Prayuth. Protes ini juga bentuk harapan diakhirinya intimidasi terhadap kritikus pemerintah.
Baca juga:
Para pemimpin protes juga sempat mengharapkan jumlah pendemo yang besar, tetapi ada pertanyaan apakah mereka akan terus mendorong keras reformasi monarki dan apakah orang-orang akan turun ke jalan selama musim hujan di Oktober. Oktober juga merupakan waktu yang sensitif karena waktu memperingati meninggalnya Raja Bhumibol Adulyadej dan menandai peringatan pemberontakan massal 1973 melawan kediktatoran militer.
"Saya berharap pemerintah akan mengontrol protes ini dengan sangat keras," kata Punchada Sirivunnabood, profesor politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Mahidol.