Sri Mulyani: Indonesia Sudah Punya Utang sejak Zaman Presiden Soekarno
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sejak awal hingga 75 tahun merdeka Indonesia tidak selalu dalam situasi yang mudah secara ekonomi maupun keuangan. Bahkan, Indonesia sudah memiliki utang saat baru saja berhasil merebut kemerdekaannya pada tahun 1945 silam saat masih dipimpin oleh Presiden Soekarno.
Sri Mulyani mengatakan, pembangunan dan aktivitas ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari penyusunan anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN), yang sebagian penopangnya memang diperoleh dari utang. Namun, kata dia, jumlah utang yang sudah menumpuk ini juga merupakan warisan dari pemerintah Belanda.
Utang Pemerintah Pusat hingga akhir Agustus 2020 tercatat sebesar Rp5.594,93 triliun. Utang ini naik Rp914,74 triliun dibandingkan Agustus 2019 yang tercatat Rp4.680,19 triliun. Posisi utang ini juga naik Rp160,07 triliun dibandingkan dengan posisi akhir Juli 2020 yang tercatat sebesar Rp5.434,86 triliun.
"Dari sisi ekonomi kita diberikan warisan Belanda tidak hanya kondisi perekonomian yang rusak tetapi juga utang. Jadi pada saat kita memulai dari pemerintahan untuk menjadi negara Indonesia merdeka itu secara keuangan kita tidak dalam balance sheet yang 0," katanya, dalam acara Pembukaan Ekspo Profesi Keuangan, Senin, 12 Oktober.
Sri Mulyani mengatakan, Indonesia tidak memiliki semua harta kekayaan. Karena, rusak akibat perang, dan seluruh investasi sebelumnya yang dibukukan oleh Belanda menjadi investasi pemerintah Indonesia. Termasuk juga seluruh utang pemerintah Belanda.
"Utangnya menjadi milik Republik Indonesia. Warisan (utang) waktu itu 1,13 miliar dolar AS mungkin saat itu Gross Domestic Product (GDP) di Indonesia masih sangat kecil," tuturnya.
Menurut Sri, setiap periode mulai dari orde baru hingga periode reformasi, memberikan refleksi historis yang bisa dipelajari. Utamanya ketika ingin membangun secara cepat dan kemudian melakukannya, waktu konfrontasi militer atau pada era Presiden Soekarno saat itu memakan biaya besar.
Saat itu, kata Sri, situasi perekonomian Indonesia banyak dibiayai dengan utang atau sehingga terjadi defisit APBN, dan menciptakan tekanan luar biasa. Namun, kata dia, defisit APBN kala itu, pembiayaannya tidak bisa dilakukan melalui penjualan surat utang negara (SUN) seperti sekarang. Sehingga, yang bisa dilakukan adalah meminta Bank Indonesia melakukan cetak uang.
"Yang terjadi jumlah uang yang beredar lebih banyak daripada jumlah produksi perekonomiannya. Sehingga inflasi meningkat luar biasa besar," jelasnya.
Baca juga:
Pada era Orde Baru atau saat periode kepemimpinan Presiden HM Soeharto, Sri berujar, Indonesia mulai balance budget, di mana APBN Indonesia neracanya belum dibentuk. Artinya seluruh utang untuk belanja pembangunan hanya bisa dilakukan apabila ada pembiayaannya dari multilateral dan bilateral.
Kemudian, saat terjadinya krisis keuangan Asia pada 1998, yang saat itu private sector mengalami tekanan sangat besar karena terjadi miss-match dari peternakan dan pemerintahan itu sendiri. Situasi perbankan menyebabkan dampak yang sistemik, yang akhirnya membuat pemerintah Indonesia harus menanggungnya.
Dari krisis keuangan di Asia, kata Sri Mulyani, pemerintah Indonesia juga diwariskan dengan kenaikan utang yang meningkat hingga lebih dari 100 persen. Pemerintah billing out untuk menyelamatkan perbankan agar ekonomi pulih.
"Biaya utang naik lagi menjadi 60 persen lebih, utang pemerintah meningkat karena nilai tukar rupiah. Dari krisis keuangan Asia kita diwariskan dengan kenaikan utang yang meningkat hingga lewat dari 100 persen," katanya.
Di era reformasi, banyak dilakukan peraturan perundang-undangan baru. Kondisi ini, merupakan tonggak awal yang penting bagi keuangan Indonesia. Karena, untuk pertama kalinya Indonesia memiliki UU Kebangkrutan, UU mengenai Bank Indonesia yang dibuat Independen, dan UU Lembaga Penjamin Simpanan untuk melakukan penjaminan terhadap tabungan masyarakat di bank.
Dari sisi keuangan negara, bagaimana neraca keuangan negara mulai dibangun melalui UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Itu adalah tiga pilar dari sisi keuangan negara. Semenjak itu 2003-2004 membangun sebuah neraca pertama kalinya. Saya waktu itu Menteri Keuangan pertama yang harus menjalankan Undang-Undang Keuangan Negara itu," katanya.
Sri Mulyani berujar, setiap kali Indonesia mengalami episode dengan ekonomi yang penuh tekanan, Indonesia tetap bisa keluar dengan pondasi yang bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia pun percaya, Indonesia akan mampu menghadapi dan keluar dari krisis keuangan dan kesehatan akibat pandemi COVID-19.
"Setiap kali kita selalu came up stronger and better, itu yang seharusnya bikin kita optimistis. Kita percaya dengan krisis yang kita hadapi saat ini, bisa untuk mereformasi dan menguatkan Indonesia," katanya.