Sejarah Partai PDI: Fusi Partai yang "Dipaksakan" Soeharto

JAKARTA - Semarak partai politik di Indonesia dimulai ketika lahirnya "Maklumat Pemerintah 3 November 1945" yang ditandai dengan dukungan pemerintah atas lahirnya partai-partai politik dalam masyarakat. Namun jumlah partai itu seiring mengerucut saat memasuki rezim Orde Baru. 

Jumlah-jumlah partai dileburkan dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) salah satunya. Dinamika perpolitikan Indonesia langsung berubah, menyesuaikan perkembangan. 

Pada era orde lama, partai yang diakui pemerintah berjumlah ada sembilan yakni PNI, NU, Parkindo, Partai Katolik, PSII, IPKI, Perti, Partai Murba dan Parmusi. Namun ketika memasuki era orde baru tahun 1970an, Soeharto berpandangan lain. 

Seperti ditulis Lili Romli dalam jurnalnya "Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru" yang dimuat LIPI (2016). Mereka yang hidup di masa Orde Baru melihat, kondisi saat itu merupakan biang kekacauan dan mengganggu stabilitasi antar partai politik.

Hal ini berdasarkan pengalaman Demokrasi Parlementer, di mana pemerintah selalu berganti ganti yang umumnya diakibatkan ulah partai partai politik. Sehubungan dengan itu langkah yang dilakukan Orde Baru adalah melakttkan penyederhanaan jumlah partai politik. 

Setelah Pemilu 1971 tepatnya tahun 1973 kedua kelompok tersebut diharuskan melakukan fusi.Kesembilan partai politik yang ada dikelompokan atas dua kelompok.

Seperti dikutip Stefan Eklof dalam "Power and Political Culture in Suharto's Indonesia" (2003) Kelompok pertama yang beraliran spiritual yang terdiri dari 7 parta keagamaan, sementara satu partai lagi beraliran nasionalis yang terdiri dari partai PNI, Murba, dan PKI. 

Dengan adanya fusi ini partai-partai politik yang ada menjadi dua yang beraliran spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan yang nasionalis menajadi PDI, sementara ada satu kekuatan politik lain yakni Golkar. 

Pemilu tahun 1987 (dok. Wikimedia)

Terpaksa Jadi PDI

Tidak semua pihak sepakat atas gagasan peleburan atau fusi partai tersebut. Ide untuk melebur partai menjadi dua poros sempat mendapat penolakan dari Partai Kristen, Parkindo dan Partai Katolik menurut Eklof (2003). Mereka menolak bila dilebur dengan partai Islam.

Para pimpinan dari kedua partai tersebut ingin membuat partai terpisah, dan tampaknya ada cukup banyak yang mendukung gagasan untuk membentuk satu Partai Kristiani. Ide untuk membentuk partai yang mewakili suara umat Kristiani ini bagaimanapun mendapat penolakan dari Presiden Soeharto. Namun, mereka diizinkan untuk merapat dengan partai poros nasionalis.  

Apa boleh buat, karena tak ada pilihan lain poros kristiani pun mau tak mau sepakat. Akhirnya pada hari ini 10 Januari 46 tahun lalu atau 1973 dua partai keagamaan yakni Parkindo dan Partai Katolik bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) melebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

PDI mempunyai komitmen ideologi Pancasila sebagai prinsip dasar perjuangannya. Pada awal berdirinya, pada tahun 1973, PDI dipimpin oleh Mohammad Isnaeni.

Awal terbentuknya PDI seolah-olah dipaksakan. Selain karena perkara poros Kristiani yang tidak punya pilihan lain selain bergabung dengan poros nasionalis yang kemudian menjadi PDI, dalam tubuh PDI juga ada kader-kader yang tidak sejalan.

Mereka berasal dari partai IPKI dan Partai Murba. Seperti diketahui bahwa IPKI adalah partai yang sangat anti-PKI pada zaman rezim Sukarno, dalam hal ini posisinya berseberangan dengan Partai Murba.

Agaknya karena banyaknya perbedaan pandangan dalam partai ini, PDI sempat jadi partai yang tidak terlalu signifikan atau orde baru menyebutnya dengan "partai gurem". Sebutan itu masih menurut Eklof (2003) merujuk pada lemahnya kekuatan partai selama 13 tahun sejak berdirinya partai berlogo banteng ini.

"Dan tidak adanya upaya nyata untuk mengkritisi rezim atau berkompetisi pada kontes hegemoni politik hingga membuatnya kurang bernilai," tulis Eklof.  

Partai ini berjalan stagnan sampai muncul kebangkitan semangat untuk merehabilitasi nama Sukarno. Pada 1986 PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi, mulai mengadakan pendekatan terhadap keluarga Sukarno yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra untuk bergabung dalam PDI. 

Bergabungnya keluarga Sukarno di PDI mendapat sambutan positif baik dari kaum pendukung Sukarno (PNI) dan dari golongan pemilih muda. Animo itu terus meningkat hingga Megawati akhirnya terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI pada 1993. 

Namun pemerintah Soeharto tak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketum PDI. Mega lalu didepak dalam Kongres PDI di Medan pada 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Dari sinilah perpecahan PDI dimulai. 

Pecahnya PDI mencapai puncaknya pada peristiwa 27 Juli 1996 atau biasa disebut dengan peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Peristiwa ini adalah pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.

Sejak peristiwa itu, nama PDI kemudian diganti dengan ditambahkan Perjuangan di belakangnya. Peristiwa itu sekaligus menjadi penanda lahirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).