Resensi Buku Teh dan Pengkhianat - Bukti Sejarah Tak Selamanya Membosankan
JAKARTA - Bagi sebagian orang, belajar sejarah adalah hal yang membosankan dan buang waktu. Kalaupun ada yang menganggap penting, maka anggapannya akan sejarah hanya dirasa sebagai pelengkap serta prasyarat untuk menuntaskan ujian-ujian pendidikan atau mewujudkan mimpi menjadi sarjana.
Hal ini mirip-mirip seperti mendengarkan pembukaan dari Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45): Dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia.
Ya, hanya membawa sampai ke pintu gerbang, bukan mencoba untuk berjalan lurus, memaksa masuk, ataupun menikmati gairah yang tawarkan oleh kemerdekaan. Tapi, mau bagaimana lagi. Begitulah kenyataan tentang sejarah dan pesonanya di mata generasi hari ini.
Tak ingin menepis realita. Kebanyakan orang memang berpikir seperti itu. Namun, setelah berproses, mengenal banyak literatur sejarah, berjumpa sejarawan, ikut menapak tilas suatu tempat bersejarah, atau berkesempatan mengenal karya-karya sastra bertema sejarah, pandangan itu dapat berubah.
Membaca karya Iksaka Banu, misalnya. Cerpennya, mulai dari Ratu Sekop, Semua untuk Hindia, hingga novel teranyarnya, Sang Raja adalah perangsang untuk mencintai sejarah. Kenapa karya dari Iksaka Banu dapat berpengaruh begitu dalam?
Jawabannya, sederhana. Iksaka adalah salah satu penulis terbaik yang mampu menempatkan suatu peristiwa bersejarah dengan diramu menjadi suatu cerita yang menarik, mendebarkan dan mampu memunculkan rasa ingin tahu.
Hal itu sesuai dengan harapan Iksaka sendiri. "Menulis fiksi sejarah untuk menjadi jembatan kecil, titik perkenalan awal bagi generasi muda agar tertarik mebangi sejarah negeri kita yang sungguh kaya dan penuh warna," katanya dalam
Teh dan Pengkhianat
Sebelum membuka Teh dan Pengkhianat, sebuah pertanyaan muncul: Dapatkan kumpulan cerpen berlatar belakang sejarahnya kali ini, akan terlihat lebih baik (atau lebih biasa) dari karya terdahulunya yang berjudul Semua Untuk Hindia?
Beruntung, 13 cerpen yang dirangkum dalam Teh dan Pengkhianat dapat mengimbangi karya sebelumnya. Sekalipun ramuan yang digunakan masih relatif sama, yaitu lebih menitikberatkan kepada tokoh seorang Belanda alias kulit putih, baik yang murni maupun tergolong Mestizo --berdarah campuran setengah Eropa-- sembari menyebarkan pesan-pesan jikalau sejarah itu tak selalu hitam putih, melainkan berwarna-warni.
Kisah-kisah yang dituturkan kali ini terasa Lebih menarik karena tak melulu berbicara terkait perang. Lembaran awal hingga akhir dapat menyentuh perkara kemanusiaan, perkara fanatisme buta, harapan, pengorbanan, hingga perjuangan, yang dalam hal ini perjuangan melawan ketidakadilan.
Ranah kemanusiaan dalam karya ini dapat dilihat dari tulisan berjudul "Kalabaka". Tulisan tersebut mengangkat fakta sejarah terkait pembantaian orang-orang Banda Neira di Maluku (Banda) yang dilakukan oleh tentara. Serangan itu bahkan diceritakan melibatkan seratus orang samurai bayaran atau ronin.
Dikisahkan, seorang schutterij --milisi nontentara dari kalangan terhormat yang mahir menggunakan senjata-- yang notabene orang Belanda ternyata masih memliki hati nurani dan menolak keras kekerasan yang dilakukan di daerah tersebut, sekalipun ia dihukum.
Kedua, Perkara fanatisme buta. Hal ini tersaji secara renyah dalam tulisan berjudul Tegak Dunia. Kisah ini menitikberatkan cerita pada hadirnya Globe --tiruan bumi-- dalam membungkam opini para pemuka agama saat itu yang meyakini bahwa bumi itu datar, karena saking fanitiknya dengan agama.
Dikarenakan merasa lelah dengan realita tersebut, seorang petinggi Schutterij bernama Kapten Zwarte Van de Vlek menulis di halaman 21: Bahwa bumi bulat adalah bid'ah terbesar yang dilakukan orang Kristen kepada kaumnya sendiri.
Terkait bumi datar sendiri, walau sudah memasuki abad ke-21, keyakinan itu nyatanya masih diyakini banyak orang hingga hari ini. Diskusi itu dibuka dalam halaman 28. "Ia boleh setia pada keyakinannya, tetapi ia tak bisa mengancam pihak yang sudah memiliki bukti lebih kuat dan diuji banyak orang."
Ketiga, perkara Harapan. Suatu hal yang wujudkan dalam bentuk cerpen Belenggu Emas yang bercerita tentang kekaguman wanita kulit putih kepada sesosok wanita pribumi yang digadang-gadang sebagai pembaharu.
Wanita tersebut tak lain ialah Rohana Kudus, salah seorang pelopor emansipasi --selain Kartini-- yang menjadi tokoh gerakan perempuan di Sumatera Barat, dan menerbitkan surat kabar yang membawa serta harapan untuk kemajuan kaum perempuan, Soenting Melajoe (SM).
Kekaguman wanita kulit putih terlihat jelas di halaman 115 kala ia berucap: Aku harus bertemu dengan wanita Minang yang luar biasa ini. Wanita yang telah menjadi ilham bagi banyak orang di Hindia.
Keempat, perkara pengorbanan, yang dijumpai dari cerpen Variola. Kisah yang mengangkat cara Hindia memerangi wabah cacar yang penyebarannya sangat cepat di nusantara. Kala itu, orang-orang di Ambon, Ternate, dan Bali bahkan meninggal dunia.
Karenanya, pengiriman vaksin dari Belanda muncul sebagai solusi dan dibarengi solusi lain berupa produksi vaksin di Nusantara. Namun, kedua solusi tersebut cenderung lama. Tak cocok dengan situasi genting yang terjadi.
Mau tak mau, upaya pencegahan haruslah disegerakan. Solusi lainnya adalah mencari anak yatim piatu di Batavia. Setelahnya, mereka dibawa ke Bali. Dalam perjalanan, tubuh mereka dimasukkan vaksin untuk kemudian dipanen bagi banyak orang agar mereka segera bangkit menaklukkan penyakit.
Meski mendapat penolakan, akhirnya solusi ini bisa menjadi bukti bahwa orang-orang kulit putih tak melulu menjajah. Ada rasa kemanusiaan tinggi di dalam diri mereka.
Terakhir, tentang perjuangan. Hal ini dijelaskan dengan apik dalam cerpen yang sama dengan judul buku, yakni Teh dan Pengkhianat. Dalam kisah tersebut kita akan melihat kontradiksi bahwa yang berjuang melawan kemunafikan adalah buruh-buruh dari China.
Mereka melakukan pemberontakan didasarkan karena dua pokok, yaitu gaji yang jauh dari kesepakatan dan tentu saja karena kekejaman pemimpin yang kerap menghukum berlebihan. Uniknya, justru pemerintah Hindia Belanda, pada saat itu justru memanfaatkan orang Indonesia yang cukup terkenal untuk memukul mundur laju pemberontakan.
Tokoh yang digunakan jasanya ialah Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan jenderal perang dari Diponegoro. Di sinilah letak berwarnanya sejarah. Siapa yang benar dan siapa yang salah, sekali lagi hanya urusan sudut pandang dan kepentingan.
Rasanya kelima cerpen tersebut, dapat memberikan gambaran bahwa Iksaka Banu sungguh serius dalam menyelipkan pemahaman bahwa sejarah itu sungguh menarik jikalau dipelajari dari banyak sisi yang tak cuma hitam putih, namun berwarna.
Setali dengan membaca habis buku ini, terselip keinginan agar karya-karya Iksaka Banu berikutnya cepat dirangkumkan --bila perlu dibukukan-- agar orang-orang dapat mempelajari tentang sejarah yang tak selalu hitam dan putih.
Judul Buku: Teh dan Penghianat
Penulis: Iksaka Banu
Terbit & Cetakan: April 2019
Penerbit: (KPG) Kepustakaan Populer Gramedia
Jumlah Halaman: 164
NB: foto Buku Teh dan Penghianat| Dok Prib