BLT Minyak Goreng: Ibarat Pertandingan Sepak Bola, Pemerintah Indonesia Dikalahkan Oligarki Industri Sawit Tiga Gol Tanpa Balas

JAKARTA – Presiden Jokowi pada 1 April lalu mencanangkan program pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program BLT ini diluncurkan sebagai jawaban kenaikan harga minyak goreng, yang sudah sangat membebani ekonomi masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah.

“Kita tahu harga minyak goreng naik cukup tinggi sebagai dampak dari lonjakan harga minyak sawit di pasar internasional. Untuk meringankan beban masyarakat, pemerintah akan memberikan BLT minyak goreng. Bantuan itu akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), serta 2,5 juta PKL yang berjualan makanan gorengan,” ujar Presiden Jokowi dalam pernyataan pers.

“Adapun bantuan yang diberikan sebesar Rp100 ribu setiap bulannya. Pemerintah akan memberikan bantuan tersebut untuk tiga bulan sekaligus, yaitu April, Mei, dan Juni yang akan dibayarkan di muka pada bulan April 2022 sebesar Rp300 ribu. Terakhir saya minta Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, dan TNI, serta Polri berkoordinasi agar pelaksanaan penyaluran bantuan ini berjalan dengan baik dan lancar,” lanjut Jokowi.

Presiden Jokowi, canangkan progam Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng. (Dok. BMI Setpres)

Dalam siaran pers Kantor Staf Presiden (KSP) melalui Tenaga Ahli Utama KSP Abraham Wirotomo menyatakan, diharapkan BLT sebesar Rp100 ribu per bulan dapat meringankan beban masyarakat yang terdampak kenaikan harga minyak goreng.

Abraham menjelaskan, penerima BLT minyak goreng adalah masyarakat yang sudah terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial (Kemensos). DTKS menjadi basis data yang sudah disinkronkan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan sudah diverifikasi.

“Dengan demikian penyaluran BLT bisa tepat sasaran, dan ini untuk mencegah potensi data ganda dan fiktif,” ujar Abraham.

Akurasi Data Sangat Penting

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat bantuan BLT merupakan hal yang positif, namun tapi di sisi lain pemerintah tetap harus menyelesaikan masalah pengelolaan minyak goreng kemasan dan curah. Walau mungkin yang lebih dibutuhkan masyarakat saat ini adalah harga yang stabil dan terjangkau

Menurut Bima hal yang penting yang harus diperhatikan adalah memperhatikan akurasi data penerima, khususnya untuk pedagang gorengan hal ini sangat penting karena dikhawatirkan duplikasi data sehingga tidak tepat sasaran.

Masyarakat antre membeli minyak goreng curah di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur pada 3 Februari 2022. (ANTARA/Asprilla Dwi Adha)

Pemberian BLT dilihat sebagai bentuk kepedulian pemerintah, di saat daya beli masyarakat menurun. Meskipun demikian, BLT tidak menggugurkan kewajiban pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan di rantai distribusi minyak goreng. Masalah tersebut mengakibatkan kelangkaan dan harga yang tidak stabil.

Untuk mengatasi isu minyak goreng tahun ini saja, pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan dalam rangka stabilisasi harga dan pasokan. Namun walau sudah tidak terjadi kelangkaan minyak goreng di sebagian pasar, harga tetap tinggi. Kita belum tahu kebijakan apa lagi yang akan diambil pemerintah setelah, melepas harga eceran tertinggi minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar.

Pemerintah saat ini mengalokasikan anggaran Rp6,15 triliun untuk membiayai program BLT selama tiga bulan ke depan. Dan kemungkinan akan membengkak jika stabilisasi pasar tak kunjung terwujud.

Oligarki Sawit Menang, Pemerintah Kalah

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai keputusan pemerintah memberi BLT sebagai shortcut.

"Ini namanya oligarki sawit menang tiga kali berturut-turut alias hattrick. Pertama, menang karena harga CPO dunia naik. Kedua menang karena akhirnya HET minyak murah dicabut pemerintah. Ketiga, menang karena pengumunan para mafia minyak goreng batal dan hilang ditelan bumi," ujar LaNyalla dalam keterangan tertulisnya, Selasa 5 April.

Menurut LaNyalla, negara kembali harus mengalah dengan melakukan intercept agar pengusaha besar tidak rugi. Sehingga HET dicabut, kemudian diganti dengan BLT ke masyarakat agar masyarakat punya daya beli harga keekonomian.

Pada dasarnya walau pemberian BLT dipandang positif, kita semua menyadari BLT bukan solusi tuntas atas carut marutnya persoalan minyak goreng. Dalam jangka menengah hingga panjang, persaingan tak sehat di industri minyak goreng ini sudah jelas tak mungkin dipertahankan. Pemerintah perlu masuk ke persoalan yang lebih fundamental dari isu minyak goreng, yaitu monopoli dalam industri sawit.

Situasi saat ini tak mudah, sungguh disayangkan jika masih banyak oknum-oknum yang mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.