Muhammadiyah: Perlu Pandangan Sama soal Islamofobia Agar Bisa Bertindak Bersama-Sama Memeranginya
JAKARTA - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia atau International Day to Combat Islamophobia.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah H. Syafiq A Mughni meyakini resolusi tentang hari memerangi Islamofobia adalah momentum yang sangat penting. Namun, menurutnya, memahami resolusi itu tidak bisa lepas dari universal of human right yang sudah menjadi khazanah di Indonesia.
"Dan kemudian dokumen yang juga menyatakan menghapuskan diskriminasi atas dasar agama dan kepercayaan dan lain sebagainya merupakan dokumen yang sangat penting yang harus bersama-sama dilakukan," ujar Syafiq dalam diskusi bertajuk "Turn back Islamophobia: Pengarusutamaan Moderasi untuk Menangkal Islamophobia" secara Daring, Rabu, 30 Maret.
"Sehingga tidak ada istilah diskriminasi antar agama yang dengan hari combating islamophobia ini menganakemaskan umat Islam diatas umat yang lain," sambungnya.
Sebab dalam kenyataan sejarah, lanjut Syafiq, memang menunjukkan di dalam berbagai macam konflik dan ketegangan, umat islam adalah umat yang paling banyak dirugikan. Sehingga resolusi PBB tidak sekedar menjadi dokumen yang tidak bernyawa tapi betul-betul hidup di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun kehidupan bermasyarakat.
"Karena itu di dalam implementasi ini saya kira sangat penting memiliki kesamaan pengertian, sebab jika tidak ada konsensus tentang islamofobia maka tentu orang bisa membuat asasmen terhadap peristiwa apa pun yang sesungguhnya tidak termasuk kategori islamofobia tapi dimasukkan. Atau justru sebaliknya yang sebetulnya harus dipandang sebagai Islamofobia tapi kemudian itu tidak bisa dianggap sehingga secara nasional maupun secara internasional," jelasnya.
"Saya kira perlu kita memahami atau memiliki pandangan yang sama apa islamofobia itu, indikasinya apa saja sehingga kita bisa melakukan tindakan bersama-sama untuk memerangi itu," lanjutnya.
Menurut Syafiq, ada dua hal yang sangat penting dalam memerangi Islamofobia. Pertama, konsolidasi internal. "Dalam segi ajaran kita, tentu kita mengajarkan Islam yang benar, Islam yang rahmatan lil alamin," katanya.
Kedua adalah faktor sejarah. Ini sangat penting untuk memberikan kesadaran kepada umat antar beragama. Karena itu perlu ada interpretasi atau penafsiran ulang bagaimana orang melihat ekspansi pada zaman awal Islam.
"Bagaimana kita melihat perang salib, bagaimana kita melihat kolonialisme, bagaimana kita melihat perjuangan di Spanyol di Andalusia dan lain sebagainya. Saya kira sejarah masa lalu harus diinterpretasikan, sebab kalau tidak maka ia akan terus diinternalisasikan sebagai bentuk yang bisa menjadi bibit kebencian dalam hubungan antar umat beragama," terangnya.
"Perang-perang yang pernah terjadi mungkin akan dijadikan sebagai justifikasi sejarah bagaimana kita membenci orang lain dan tidak akan saling percaya di antara itu. Oleh karena itu maka sikap semacam ini kalau terus ditanamkan maka akan menjadi sumber ketegangan di antara umat beragama," sambung Syafiq.
Baca juga:
Untuk pengimplementasian resolusi PBB tersebut, Syafiq menilai ada dua faktor yang sangat penting. Pertama adalah faktor negara.
"Apa yang perlu dilakukan oleh negara, kebijakan-kebijakannya, kemudian perangkat hukum yang bisa digunakan untuk ini. Saya kira perlu ada dorongan dan pemikiran yang benar-benar sama, sehingga akan mencapai tujuan yang sama-sama diperjuangkan oleh negara-negara anggota OKI," katanya.
Kedua adalah faktor civil society. Menurut Syafiq, masyarakat tidak kalah penting, dalam menyamakan interpretasi islamofobia. Termasuk juga tokoh agama, dan lembaga agama.
"Untuk menghilangkan faktor dari munculnya islamofobia apabila di kalangan masyarakat maka ormas-ormas Islam majelis agama kemudian tokoh agama perlu berpikir bagaimana ikut mendefinisikan islamophobia tetapi juga berpikir bagaimana harus diutamakan itu. Sehingga menjadi sikap umat Islam maupun sebagai bagi umat di luar Islam," kata dia.
Untuk diketahui, Resolusi tersebut diperkenalkan oleh Pakistan atas nama Organisasi Kerjasama Islam (Organization of Islamic Cooperation).
Resolusi tersebut disponsori oleh 57 anggota OKI dan delapan negara lainnya termasuk Cina dan Rusia. Dalam forum tersebut, Pakistan yang mengusulkan resolusi hari anti-islam fobia. Duta besar perwakilan Pakistan untuk PBB di depan majelis sidang mengatakan islamofobia adalah hal nyata.
Islamofobia seperti ujaran kebencian diskriminasi dan kekerasan terhadap muslim berkembang di beberapa negara. Duta besar Pakistan juga menyampaikan tujuan memperingati islamofobia adalah untuk meningkatkan kesadaran internasional tentang meningkatnya fenomena-fenomena islamofobia dan kebencian anti-muslim.
Resolusi in adalah untuk menyatukan umat dunia bukan memecah-belah. Deputi wakil Indonesia untuk PBB menyampaikan Indonesia mendukung resolusi penetapan Hari Anti islamophobia tersebut.