KPU: Paslon Jangan Lagi Alasan Tak Mengerti Aturan Protokol Kesehatan Pilkada

JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Dewa Raka Sandi menyatakan pasangan calon tak bisa lagi membuat kerumunan massa dengan alasan tak memahami aturan dan larangan protokol kesehatan dalam tahapan Pilkada 2020.

Alasannya KPU sudah mengulang sosialisasi untuk memastikan semua pemangku kepentingan Pilkada 2020 untuk menjalankan semua tahapan menggunakan protokol kesehatan.

"Semua stakeholder itu mendapatkan informasi dan mengetahui mekanisme, tata cara, dan prosedur dalam protokol kesehatan. Hal ini agar tidak ada alasan bahwa mereka tidak mengetahui, begitu," kata Dewa dalam diskusi webinar, Rabu, 23 September.

Menurut Dewa, tahapan krusial yang KPU peringatkan agar menghindari kerumunan dan pengumpulan massa yakni  penetapan pasangan calon tanggal 23 September, pengundian nomor urut tanggal 24 September, dan masa kampanye sejak 26 September hingga 5 Desember.

Ada pun pada penetapan pasangan calon, KPU tidak mengundang peserta pilkada untuk hadir di lokasi. Sebab, penetapan hanya dilakukan dalam rapat pleno KPU provinsi dan kabupaten kota.

"Tata caranya sudah diatur dalam PKPU, dan hasilnya akan diumumkan di papan pengumuman KPU, di laman web KPU, serta di akun-akun resmi KPU provinsi maupun kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada," ungkap Dewa.

Sementara, terkait dengan pengundian dan rumah nomor urut, KPU daerah akan melakukan koordinasi dengan pasangan calon maupun tim kampanye untuk mematuhi protokol kesehatan. 

"Jika terjadi pelanggaran, maka pihak yang melanggar itu agar bertanggung jawab. Tentu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," jelas dia.

Selanjutnya, pada tahapan kampanye, KPU melakukan revisi Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 dan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 yang berisi tentang penyelenggaraan Pilkada 2020 di masa pandemi COVID-19.

PKPU ini belum diundangkan. Namun, secara garis besar, akan ada penerapan sanksi bagi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Sanksi ini bersifat administratif, mulai dari pembubaran hingga pengurangan jatah kampanye.

"Bisa jadi kami memberikan peringatan tertulis, kemudian menghentikan kegiatan yang melanggar, bila perlu disertai pembubaran," tutur Dewa.

"Ada satu lagi, yaitu sanksi untuk tidak berkampanye selama waktu tertentu untuk jenis kampanye yang dilanggarnya," lanjutnya.