Ketua Banggar Said Abdullah Minta Pemerintah Tambah Alokasi Plafon Perlinsos Jadi Rp171,8 Triliun Jelang Ramadan
JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, MH Said Abdullah meminta pemerintah menambah alokasi plafon anggaran perlindungan sosial (perlinsos) agar bisa mengurangi beban rakyat menjelang Ramadan. Pasalnya, program perlindos ini efektif sebagai social stabilizer dengan cakupan penerima manfaat yang sangat luas.
"Maka saya mengimbau kepada pemerintah untuk melakukan penebalan terhadap perlinsos ini. Apalagi, sebentar lagi memasuki bulan Ramadan," ujar Said dalam keterangannya, Selasa 15 Maret.
Menurutnya, penebalan terhadap perlindungan sosial ini dilakukan pemerintah dengan cara menambah anggaran, mulai untuk Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), hingga Kartu Prakerja.
Untuk tahun 2022 ini, anggaran perlinsos telah ditetapkan sebesar Rp154,8 triliun. Program perlinsos ini sangat penting sebab menjangkau 37,9 juta pelanggan listrik tersubsidi, 8 juta metric ton LPG 3 Kg, 7,5 juta keluarga penerima BLT di pedesaan, 10 juta keluarga penerima PKH.
Tak hanya itu, program ini juga menjangkau 18,8 juta keluarga penerima kartu sembako, 20,2 juta siswa penerima KIP, dan 96,8 juta keluarga penerima PBI JKN.
"Karenanya, saya mendukung penambahan plafon program perlinsos ini hingga Rp15-17 triliun. Hal ini penting agar daya beli masyarakat terjaga. Maka segera lakukan penebalan, tambah anggaran perlinsos. Ini harus segera dan penting. Karena kita akan masuk bulan puasa sebentar lagi," kata Said.
Selain menebalkan perlinsos, politisi Senior PDI Perjuangan ini meminta Satgas Pangan terus melakukan monitoring dan operasi pasar dengan sigap, mengantisipasi upaya penimbunan stok, permainan harga, dan ketidakpatuhan atas pelaksanaan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) beberapa komoditas.
"Untuk itu, Satgas Pangan dibantu aparat penegak hukum dari kepolisian, mulai dari pusat sampai jajaran Polsek di Kecamatan harus ikut melakukan pengawasan guna memastikan distribusi bahan pangan benar-benar tersedia di masyarakat," terangnya.
Sementara itu, mengantisipasi kelangkaan minyak bumi, Said meminta pemerintah perlu mengamankan pasokan stok dengan negara-negara eksportir atas berbagai komoditas utama yang dipasok dari impor. Kelangkaan minyak bumi harus menjadi pelajaran serius bagi pemerintah.
"Suplai minyak dan gas kita sebagian besar dari Arab Saudi, Singapura, Malaysia, Uni Emirat Arab, Nigeria, dan Amerika Serikat. Sejauh ini hanya Uni Emirat Arab yang menyanggupi penambahan kapasitas produksi minyaknya ke pasar global," jelasnya.
Karena itu, pemerintah perlu memastikan kepada negara-negara tersebut, termasuk mencari alternatif, misalnya dari Venezuela dan Iran, meskipun keduanya tengah dalam sanksi Amerika Serikat.
Baca juga:
Di samping itu tegas Said, pemerintah perlu memastikan kepatuhan hedging kepada sejumlah badan usaha yang menjalankan impor, baik BUMN maupun swasta. Tingginya harga komoditas yang didapatkan dari impor potensial memberi tekanan kepada nilai tukar mata uang.
"Depresiasi terhadap rupiah akan berdampak pada beban meningkatnya beban dan bunga utang valas pemerintah dan swasta," imbuhnya.
Program pengungkapan sukarela
Lebih lanjut, Said menjelaskan pada awal Maret 2022 ini Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak menembus angka Rp21,44 triliun, meningkat dari Februari 2022 sebesar Rp18,72 triliun.
Untuk harga yang diniatkan investasi pada sektor energi, pemerintah harus melakukan percepatan investasi energi, khususnya energi terbarukan. Setidaknya dalam waktu dekat ini sudah bisa merealisasikan program B40 untuk mengurangi ketergantungan pasokan minyak impor.
Di samping itu, peluasan basis ekspor, terutama komoditas yang memang bisa dijalankan dengan cepat. Tahun lalu, Indonesia mencatatkan kinerja perdagangan yang positif akibat kenaikan harga komoditas ekspor andalan seperti; kelapa sawit, batubara, dan berbagai komoditas rempah rempah.
Terlebih lagi Undang Undang HPP memberikan insentif pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang dan jasa ekspor. Tujuan dari pembebasan ini pada UU HPP untuk mendorong kontribusi ekspor nasional makin besar dalam struktur PDB yang masih didominasi konsumsi rumah tangga sebesar 54 persen. Selain itu, akan menebalkan cadangan devisa.
"Memberlakukan tarif PPn 11 persen per 1 April secara selektif utamanya pendidikan dan kesehatan yang tidak beorientasi bisnis. Dan sebagai ganti kekurangan penerimaan PPN terkait hal ini, pemerintah dapat menggunakan ketentuan pasal 7 ayat 3 UU HPP untuk menaikkan PPn diatas 11 persen terhadap barang kena PPn lainnya," pungkasnya.