Serikat Petani Kelapa Sawit Laporkan Dugaan Monopoli Industri Biodiesel Wilmar, PT SMART Tbk dan Musim Mas
JAKARTA - Pada hari Rabu, 15 Maret, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Koperasi Karya Mandiri dan Koperasi Perkebunan Renyang Bersatu bersama tim Advokasi Keadilan Perkebunan telah melaporkan dugaan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terhadap industri bahan bakar nabati jenis biodiesel ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU). Adapun pihak-pihak yang dilaporkan yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT SMART, Tbk Dan PT Musim Mas.
Menurut koordinator kuasa hukum PELAPOR, Janses E. Sihaloho, terdapat beberapa perbuatan perusahaan yang diduga terkait dengan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yakni oligopsoni dan/atau integrasi vertikal terhadap industri bahan bakar nabati jenis biodiesel.
Janses menambahkan, mekanisme penunjukan langsung terhadap jumlah alokasi biodiesel hanya ditujukan kepada Para Terlapor melalui anak-cucu perusahaannya. Hal tersebut terbukti dengan adanya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 1935 K/10/MEM/2018, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 2018 k/10/MEM/2018, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 195 K/10/MEM/2020 dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 252.K/10/MEM/2020 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar.
Indikasi lain yang disampaikan Janses adalah adanya peningkatan lahan kelapa sawit setiap tahun milik para terlapor yang melampaui 100 ribu hektar menurut aturan. Peningkatan Lahan ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan pasar terhadap pasok TBS Sawit.
"Seharusnya kesejahteraan para pekebun swadaya dan pekebun kemitraan-pun juga semakin meningkat, namun faktanya tidak demikian. Masih banyak pekebun swadaya dan pekebun kemitraan yang dirugikan atasharga jual TBS sawitnya. Hal tersebut diduga telah memenuhi unsur pada Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf c UU No. 5/1999 yakni penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat," jelas Janses.
Selain itu, tim Pelapor juga menyoroti penggunaan dana kelapa sawit yang tidak sesuai dengan UU Perkebunan. Diketahui, bahwa total Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola oleh BPDP-KS sejak tahun 2015-2019 sebesar Rp47,28 triliun. Mayoritas total dana ini dialokasikan bukan untuk kepentingan petani, melainkan industri biodiesel.
Ketimpangan alokasi itu tergambar jelas pada realisasi anggaran pada 2015-2019, di mana 89,86 persen dari total dana atau sebesar Rp30,2 triliun dialokasikan untuk insentif biodiesel. Ironisnya, saat pandemi COVID-19 mulai merebak, pemerintah menggelontorkan dana subsidi sebesar Rp2,78 triliun untuk biodiesel.
"Dari berbagai uraian di atas, laporan Pelapor kepada KPPU cukup berdasar dan beralasan. Para terlapor diduga telah melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yakni oligopsoni dan/atau integrasi vertikal sesuai Pasal 13 dan Pasal 14 UU 5/1999 ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU)," ungkap Janses.
Gunawan dari Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) berharap bahwa laporan ini tidak hanya membongkar praktik oligopsoni dalam biodiesel, tetapi juga melihat ketidakadilan rantai pasok sawit secara keseluruhan, yang juga berimbas pada ketersediaan produk makanan, seperti krisis minyak goreng yang terjadi akhir-akhir ini.
Baca juga:
Marcelinus Andri dari SPKS menilai, terkait sisi anggaran, hampir 90 persen dana BPDPKS untuk biodiesel dan sebagian besar disalurkan ke 3 perusahaan terlapor. Padahal perkebunan rakyat menguasai 40 persen sawit nasional.
"Dalam subsidi untuk biodiesel bagi perusahaan tersebut mengangkangi peraturan. Dalam UU Perkebunan, tidak ada mandat agar dana sawit dialokasikan bagi biodiesel," jelas Marelinus.
Terkait ketimpangan lahan, Marcelinus menilai, ada kewajiban bagi perusahaan untuk membangun kebun dengan persentase 20 persen, namun aturan ini juga tidak dipenuhi. Ini memperkuat monopoli penguasaan lahan oleh perusahaan.
Edy Sutrisno, Direktur TUK Indonesia, menilai, terkait laporan ini, KPPU seharusnya bisa dengan mudah menelusuri hal ini. Karena, kata dia, KPPU memang sudah memiliki banyak kajian yang mengindikasikan adanya monopoli dari segelintir perusahaan tersebut.
Edy menuturkan, selain penguasaan lahan, yang melampaui regulasi pengelolaan sebesar 100 ribu hektare, perusahaan tersebut juga menguasai supplier buah, sehingga mereka dengan mudah mengatur harga TBS di level petani.
Gunawan menilai potret realisasi anggaran BPDPKS yang timpang juga menggambarkan ruang penentuan kebijakan yang minim bagi petani. Hal ini mengonfirmasi struktur BPDPKS yang didominasi oleh orang-orang perusahaan.
Terhadap laporan ini, Kuasa Hukum Pelapor, Janses mengharapkan agar KPPU dapat mengeluarkan denda yang optimal, bila perlu pencabutan usaha bagi perusahaan yang jelas-jelas melakukan praktik monopoli. Selain itu, diharapkan, KPPU dapat mendorong agar terjadi perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang lebih pro terhadap petani.