Indonesia Surplus Neraca Perdagangan 3,8 Miliar Dolar AS, Rekor 22 Bulan Terus Berlanjut
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indonesia berhasil mencetak surplus neraca perdagangan sebesar 3,83 miliar dolar AS pada Februari 2022.
Angka ini dibentuk dari nilai ekspor yang lebih besar dengan 20,46 miliar dolar AS dibandingkan dengan impor yang sebesar 16,63 miliar dolar AS.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan surplus perdagangan pada awal tahun ini melanjutkan tren surplus yang sudah berlangsung hampir dua tahun silam.
“Ini sudah terjadi selama 22 bulan secara beruntun Indonesia mengalami surplus perdagangan,” ujarnya saat menggelar konferensi pers secara virtual pada Selasa, 15 Maret.
Menurut Margo, situasi ini jelas menguntungkan RI mengingat besaran ekspor yang lebih tinggi berpengaruh terhadap penguatan kegiatan ekonomi di dalam negeri. Sebaliknya, impor yang rendah, utamanya barang-barang konsumsi, dapat berperan menjaga cadangan devisa negara tetap tinggi.
“Harapan kita semua semoga tren surplus ini terus terjaga di masa-masa berikutnya sehingga pemulihan ekonomi Indonesia bisa berlangsung lebih cepat,” tuturnya.
Baca juga:
- Deretan Bohir Besar Sawit RI dan Paling Licin di Urusan Minyak Goreng, Ada Konglomerat Anthony Salim, Martua Sitorus, hingga Sukanto Tanoto
- Bidik Kemiskinan Turun, Menko Airlangga Serahkan Bantuan Tunai Pemerintah ke Nelayan Labuan Bajo
- PLN Dikabarkan Dapat Rp8,7 Triliun untuk Bangun PLTA Pumped Storage Pertama di Asia Tenggara
Lebih lanjut, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari–Februari 2022 mencapai 39,64 miliar dolar AS atau naik 29,75 persen dibanding periode yang sama 2021. Demikian juga ekspor nonmigas mencapai 37,74 miliar dolar AS atau tumbuh 31,02 persen.
Sementara impor, penurunan terbesar Februari 2022 dibandingkan Januari 2022 adalah besi dan baja 368,3 juta (27,13 persen). Sedangkan peningkatan terbesar adalah gula dan kembang gula 117,8 juta (41,21 persen).
Adapun, tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Februari 2022 adalah China 10,48 miliar dolar AS (35,27 persen), Jepang 2,54 miliar dolar AS (8,55 persen), dan Thailand 1,97 miliar dolar AS (6,62 persen).