Hari Perempuan Internasional: Tuntutan Hak Kerja Layak, Keadilan, dan Melawan Semua Bentuk Kekerasan

JAKARTA - Setiap tanggal 8 Maret telah ditandai sebagai hari istimewa bagi perempuan sedunia, yaitu Hari Perempuan Internasional. Lebih dari satu abad sejak pertama kali dirayakan pada tahun 1911 di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss.

Sejarah hari perempuan sedunia bermula ketika 15 ribu perempuan berjalan menyusuri New York pada tahun 1908 dengan tuntutan jam kerja lebih pendek, gaji yang lebih baik, dan hak untuk memilih.

Setiap tahun hari perempuan sedunia selalu diperingati hampir di seluruh negara di dunia, karena menjadi simbol pencapaian perempuan. Pada momen ini para perempuan melihat kembali apakah telah mendapatkan kesempatan dan hak kerja yang layak, sesuai tuntutan para buruh wanita pada tahun 1908.

Menurut World Inequality Report (WIR) atau Laporan Ketimpangan Dunia 2022 menunjukkan, secara global pendapatan tenaga kerja perempuan pada tahun 2021 hanya 34 persen dari total pendapatan tenaga kerja national.

Poster Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret. (Foto: Pixabay/EyestetixStudio)

WIRR disusun oleh Lembaga Ketimpangan Dunia bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Kondisi ketimpangan ditinjau dari sisi ekonomi, ekologi, dan gender. Kondisi ketimpangan di Indonesia juga dijabarkan dalam laporan tersebut.

Data WIRR secara umum menjabarkan bahwa pendapatan tenaga kerja perempuan di negara-negara bekas Blok Timur cukup tinggi, rata-rata 41 persen. Pembagian pendapatan tenaga kerja yang mencapai 45 persen yaitu di Moldova. Sedangkan Amerika Serikat hanya memimpin dalam pemberdayaan perempuan di abad ke-20, yaitu hanya 38 persen.

Di dunia yang mempunyai kesetaraan gender, seharusnya perempuan akan mendapatkan 50 persen dari semua pendapatan tenaga kerja. Ketimpangan ini menjadi penghambat dalam kesetaraan gender, yang menunjukkan kemajuan yang sangat lambat selama 30 tahun terakhir. Partisipasi perempuan di pasar kerja sangat penting dalam perekonomian, namun perempuan hanya mendapatkan sepertiga dari pendapatan tenaga kerja di seluruh dunia.

Kondisi di Indonesia

Menurut McKinsey Global Institute pendapatan tenaga kerja perempuan di Indonesia pada 2021 hanya 24,8 persen dari total pendapatan tenaga kerja nasional. Di sisi lain, pendapatan pekerja perempuan di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan Jepang (28 persen) dan Korea (32 persen). Namun, angka Indonesia lebih tinggi dari India yang hanya 18 persen.

Laporan McKinsey juga menyebutkan jika partisipasi perempuan dalam angkatan kerja meningkat dan lebih banyak perempuan bekerja di sektor dengan produktivitas tinggi, diperkirakan produk domestic bruto (PDB) nasional bisa naik 135 milar dolar AS pada tahun 2024.

Penghasilan pekerja perempuan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan laki-laki. (Foto: kemkes.go.id)

Kendala kesetaraan gender di Indonesia bukan hanya tingkat pendidikan, karena secara umum tingkat pendidikan perempuan di Indonesia lebih rendah dibandingkan laki-laki. Secara umum masyarakat masih menimpakan tanggung jawab pekerjaan domestik kepada perempuan. Akibatnya perempuan menghabiskan waktu lebih banyak daripada laki-laki untuk pekerjaan perawatan yang tidak dibayar.

Perlu keberpihakan kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam di dunia kerja ataupun mendukung perempuan mencapai jenjang tinggi dalam pekerjaan. Di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan yang menjadikan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, di banyak perusahaan masih menjadi alasan untuk membedakan hak pekerja perempuan dengan laki-laki.

Kekerasan Terhadap Perempuan

Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan 2020, ada 431.471 kasus kekerasan kepada perempuan. Angka ini naik dari tahun 2019 sebanyak 406.178 kasus, dan 2018 sebanyak 348.446 kasus.

Dengan rincian kekerasan di ranah personal mencapai 75,4 persen, kekerasan di ranah komunitas termasuk tempat kerja 24,4 persen, sementara kekerasan di ranah negara 0,08 persen. Kekerasan yang dimaksud termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikis.

Desakan agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan terus digaungkan. RUU TPKS penting karena dapat mengatur pemulihan korban sebelum, selama, dan setelah masa peradilan.

Ilustrasi kampanye stop kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Istimewa)

Apabila RUU TPKS disahkan, alat bukti bertambah antara lain keterangan korban, surat keterangan psikolog atau psikiater, data elektronik, dokumen, dan data rekam medis. Aparat penegak hukum pun akan dilarang merendahkan dan menyalahkan korban seperti yang selama ini terjadi.

Kesetaraan gender tidak selalu tentang perempuan, tetapi tentang peran, fungsi, kedudukan, dan pembagian kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dunia kerja masih sangat timpang bagi perempuan, mereka hanya mendapatkan sepertiga dari pendapatan tenaga kerja di seluruh dunia.

Perlu ada keberpihakan kepada perempuan di pasar kerja. Namun yang utama adalah komitmen yang tinggi untuk melaksanakannya. Selain itu kampanye penguatan pemahaman tentang kesetaraan gender juga harus terus dilakukan di masyarakat dan pemerintahan, sehingga norma tentang kesetaraan menjadi lebih dominan. Selamat Hari Perempuan Internasional.