Kemendag Curigai Warga Timbun Minyak Goreng, Anggota Komisi VI: Minyaknya Aja Raib, Apa yang Mau Ditimbun?
JAKARTA - Anggota Komisi VI, Andre Rosiade, mengaku heran dengan pernyataan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menyebut kelangkaan minyak goreng lantaran ditimbun oleh masyarakat. Menurut dia, dengan sulitnya mendapatkan minyak goreng di pasaran, tidak mungkin masyarakat bisa melakukan penimbunan.
"Minyak gorengnya aja raib, gaib, gimana masyarakat punya akses untuk menimbun?" tuturnya, dalam diskusi visual, Selasa, 8 Maret.
Andre mengaku khawatir minyak goreng akan semakin sulit untuk didapatkan saat Bulan Ramadhan mendatang. Sebab, permintaan minyak goreng pada momen tahunan tersebut sudah pasti bakal mengalami peningkatan. Bukan saja dari permintaan dalam negeri, tetapi juga dari negara-negara lain yang berpenduduk muslim.
Karena itu, lanjut Andre, permasalahan kelangkaan minyak goreng merupakan pekerjaan rumah (PR) yang wajib untuk segera diselesaikan oleh pemerintah.
"Kalau besok masuk Bulan Ramadhan barang itu bisa benar-benar bukan gaib, Saya bingung juga apa bahasanya. Ini yang harus jadi PR bagi pemerintah," tutur Andre.
Baca juga:
Dalam kesempatan yang sama, ekonom dari Institute For Development of Economics and Fianance (Indef), Agus Herta Sumarto, mengatakan bahwa minyak goreng sebenarnya tidak raib dan gaib di pasaran. Namun, penyebab kelangkaan minyak goreng di pasaran hanya bisa diungkap oleh pemerintah.
"Jadi secara data, teori sudah mengarah semua bahwa minyak goreng ini saya rasa tidak gaib. Saya rasa (barangnya) ada. Tapi kenapa ini kok bisa jadi gaib? Hanya pemerintah yang bisa menjelaskan," ujar Agus.
Sebelumnya diberitakan, Inspektur Jenderal Kemendag Didid Noordiatmoko menjelaskan bahwa saat ini produksi minyak goreng sudah mendekati kebutuhan sehingga kelangkaan terhadap produk tersebut seharusnya dapat teratasi paling lambat akhir Maret 2022.
Namun, kata Didid, muncul persoalan baru yang merupakan dampak dari kenaikan harga dan kelangkaan barang, yaitu panic buying. Hal tersebut terjadi karena harga minyak goreng yang terjangkau sehingga membuat masyarakat membeli melebihi kebutuhan.
Padahal, kata Didid, hasil riset menyebutkan bahwa kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8 hingga satu liter saja per bulan. Sehingga dengan hasil tersebut maka banyak rumah tangga yang menyetok minyak goreng.