Indonesia di Posisi yang Baik dalam Persaingan Global Pencipta Vaksin

JAKARTA - Indonesia ada di posisi strategis dalam persaingan pengembangan vaksin COVID-19 di dunia. Ada sejumlah alasan. Salah satunya adalah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad menilai pengembangan vaksin kini telah menjadi kepentingan seluruh negara di dunia. Indonesia harus ambil bagian dalam persaingan itu.

"Posisi Indonesia yang bebas aktif cukup jelas ... Kepentingan kita bukan siapa yang menang atau kalah dalam kompetisi geopolitik ini, namun memastikan kekuatan besar politik tersebut tidak berdampak buruk pada kita," katanya, dikutip dari Antara, Selasa, 15 September.

Sejumlah negara tengah mengembangkan vaksin COVID-19. Beberapa di antaranya telah masuk tahap ujicoba klinis pada manusia untuk mengaji seberapa manjur vaksin, serta bagaimana efek samping yang mungkin ditimbulkan. Setelah rangkaian ujicoba, barulah vaksin dapat diproduksi dan didistribusikan massal.

Amerika Serikat (AS) jadi salah satu negara yang terdepan. AS kini setidaknya memiliki enam kandidat vaksin dari enam perusahaan farmasi yang berada di tahap ujiklinis. Selain itu ada Rusia dengan Sputnik V yang telah terdaftar pada Agustus lalu. Sputnik V kini siap diuji coba kepada 55 ribu relawan.

Dari Asia, China tak ketinggalan dengan vaksin dari perusahaan Sinovac. Perusahaan itu telah meneken kerja sama dengan Bio Farma dan tengah menjalani ujiklinis  tahap III di Bandung. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil diketahui jadi salah satu relawan vaksin.

"Yang menjadi perhatian Indonesia adalah bagaimana mendorong organisasi internasional agar lebih efektif memfasilitasi kerja sama di antara negara-negara yang kecenderungannya sedang bersaing," kata Shofwan.

Sementara, pengamat politik internasional Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, secara terpisah, menjelaskan bahwa "dalam konteks produksi (vaksin), faktanya Indonesia belum mampu memiliki kekuatan logistik maupun kapasitas riset yang memadai."

"Mau tak mau, dalam konteks hubungan internasional, kita harus menggunakan metode bandwagoning--dengan menginduk ke negara-negara yang sekiranya memiliki kapasitas riset dan produksi yang memadai untuk pengadaan vaksin COVID-19," tutur Umam.

Karena itu, menurut dia, Indonesia harus mengintensifkan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan eksternal, baik negara maupun perusahaan asal negara lain, serta mendapat transfer pengetahuan dan teknologi dari mereka. "Dan yang terpenting dari (upaya pengadaan) vaksin itu adalah transfer of knowledge dan transfer of technology supaya Indonesia tidak bergantung pada pengadaan, produksi (dari luar)," kata Umam menyimpulkan.