Mulai Goyah soal Usulan Pemilu 2024 Diundur, Golkar: Realistis, Karena yang Tak Bisa Diubah Hanya Kitab Suci
JAKARTA - Partai-partai politik sepertinya sudah mulai goyah dengan usulan penundaan Pemilihan Umum 2024 yang dicetus Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar.
Bahkan, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sudah menyatakan sepakat dengan usulan itu dengan beberapa alasan. Diantaranya masih berlangsungnya pandemi dan mulainya krisis Rusia vs Ukraina.
Kekinian, Partai Golkar juga akan mengkaji serius wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai dampak jika Pemilu 2024 diundur. Partai yang dipimpin Airlangga Hartarto itu menilai, perpanjangan jabatan presiden bukan hal yang tabu untuk dibicarakan.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Melchias Marcus Mekeng, mengatakan aturan masa jabatan presiden bisa diubah asalkan sesuai mekanisme pada konstitusi.
“Yang tidak bisa diubah hanya Kitab Suci. Di luar itu, semua bisa diubah, asal melalui mekanisme konstitusi,” ujar Mekeng di Jakarta, Jumat, 25 Februari.
Mekeng mengklaim, kajian perpanjangan masa jabatan Jokowi lantaran adanya permintaan dari masyarakat yang disampaikan Golkar. Tentu, kata dia, kajian itu harus melibatkan semua parpol di parlemen dan unsur DPD RI.
"Bagaimana sikap PDIP, Gerindra, PKB, Nasdem, Demokrat, PAN, PPP, PKS dan DPD RI. Golkar siap membahas sesuai mekanisme konstitusi,” ucap Mekeng.
Anggota Komisi XI DPR itu lantas menjelaskan alasan perpanjangan masa jabatan presiden harus dikaji serius. Dari sisi ekonomi, menurut Mekeng, perekonomian Indonesia akan terganggu atau defisit semakin dalam jika tahun 2024 dilaksanakan pemilu.
"Padahal ekonomi Indonesia saat ini saja belum berjalan normal dan defisit anggaran masih tinggi," kata Mekeng.
Dikatakannya, mulai tahun 2023 defisit APBN tidak boleh lebih dari 3 persen. Artinya, defisit anggaran negara kembali ke aturan UU keuangan negara yaitu berada dibawah 3 persen. Sementara selama pandemi COVID-19, defisit anggaran dibolehkan berada di atas 3 persen.
Selain itu, lanjutnya, pembiayaan negara juga banyak ditopang oleh utang. Pada 2021 saja, utang negara mencapai Rp1.100 triliun. Di 2022 sedikit berkurang karena ekonomi sudah mulai membaik yaitu Rp600 triliun. Sedangkan pada tahun 2023, sudah tidak boleh berutang lagi.
“Kalau sudah tidak boleh utang lagi, maka pemerintah harus jeli mencari penerimaan negara. Artinya, penerimaan pajak harus meningkat, investasi harus meningkat, Produk Domestik Bruto (PDB) harus naik," jelasnya.
"Kita tahu selama COVID-19, pembiayaan negara lebih banyak ditopang oleh utang karena penerimaan negara berkurang. Nanti kalau sudah ada hiruk-pikuk Pemilu 2024, bagaimana meningkatkan penerimaan negara. Pasti tersendat. Ini bahaya,” beber Mekeng.
Disisi lain, sambung Mekeng, dalam kondisi penerimaan negara yang kurang dan utang tidak boleh, negara masih dituntut untuk mengurangi angka kemiskinan. Tapi, berbagai bantuan yang ada selama ini seperti Bansos, dan PKH, tidak boleh langsung berhenti.
Sebab, imbuhnya, berbagai bantuan tersebut untuk menjaga masyarakat tidak jatuh miskin dan untuk menjaga daya beli masyarakat agar roda ekonomi tetap jalan.
“Jika hutang tidak boleh dan semua bantuan ditarik karena menjelang pemilu, bagaimana ekonomi bisa bergerak? Ekonomi bisa tambah hancur kalau semua itu ditarik,” tegas Mekeng lagi.
Baca juga:
Apalagi, tambah Mekeng, saat pemilu investasi hampir tidak ada karena pengusaha dalam posisi wait and see dan menunggu even politik selesai. Sementara, biaya untuk pemilu cukup besar yaitu mencapai Rp100 triliun dan harus dipenuhi negara.
"Dari mana pemerintah mendapatkan dana itu sementara sumber-sumber penerimaan negara berkurang karena COVID-19?," kata Mekeng.
Belum lagi UMKM harus tetap berjalan. Diketahui, kata Mekeng, selama COVID-19 banyak UMKM disubsidi agar mereka bisa bertahan. Karena UMKM sebagai penopang utama ekonomi Indonesia saat ini.
“Kalau semua berhenti karena pemilu, kan bahaya. Ekonomi akan lumpuh. Makanya wacana perpanjangan masa jabatan itu realistis dan rasional,” tutur Mekeng.
Mekeng menambahkan semangat perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi juga penting karena saat ini sedang terjadi perang antara Rusia dan Ukraina. Menurutnya, perang itu bisa panjang dan mungkin saja akan terjadi perang besar.
"Perang berdampak pada perekonomian dunia akibat harga minyak akan naik dan nilai tukar dollar terhadap rupiah juga naik," tandas Mekeng.