Prancis Bangun Cyber Campus untuk Pusat Pertahanan Menghadapi Perang Siber
JAKARTA – Negara-negara di dunia, kini semakin waspada dan menyadari bahaya yang ditimbulkan dari serangan siber. Bahkan perang siber, kemungkinan bisa terjadi seperti halnya ketegangan antara Ukraina dan Rusia dalam beberapa pekan terakhir.
Mengantisipasi hal itu, pemerintah Prancis membangun Cyber Campus. Mereka mengumpulkan pakar keamanan siber top negara itu di distrik bisnis La Defense Paris. Mereka juga menyatukan perusahaan rintisan dan perusahaan rumah tangga untuk mengatasi momok peretasan.
Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire mengatakan pada Selasa, 15 Februari bahwa antisipasi dini perlu dilakukan agar negaranya mampu mengatasi masalah peretasan ini jika benar-benar terjadi.
"Peresmian Cyber Campus merupakan langkah besar dalam implementasi strategi keamanan siber nasional yang diputuskan oleh @EmmanuelMacron. Ini adalah masalah vital bagi kedaulatan kita dan peluang ekonomi penting bagi pengusaha dan perusahaan baru kita," ungkap Le Marie dalam cuitannya di twitter.
Serangan siber telah menjadi kekhawatiran nomor satu dari para eksekutif perusahaan top dunia, menurut survei PwC. Kini jumlah serta kecanggihannya yang terus bertambah sehingga dapat merusak kedaulatan sebuah negara, kata para pemimpin Prancis.
"Prancis ... tidak ingin bergantung pada orang asing," kata Le Maire pada peresmian tempat tersebut. "Ia ingin mandiri dalam teknologi canggih."
Proyek ini mendapat inspirasi dari pendirian serupa di Israel, CyberSpark, yang pernah menjadi model untuk Michel Van Den Berghe, kepala Campus Cyber Prancis.
Baca juga:
Kampus ini akan menjadi basis bagi para pemula dan pakar dunia maya dari beberapa perusahaan besar yang terdaftar di Prancis seperti LVMH, L'Oreal dan bank-bank terbesar.
"Untuk sebuah startup, berada di gedung yang sama dengan perusahaan terbesar yang dapat memasukkan solusi mereka ke dalam katalog mereka, itu adalah akselerator yang hebat," kata Van Den Berghe.
Cyber Campus dapat menampung 1.800 orang. Tempat ini dijalankan oleh perusahaan yang 44% dimiliki dan didanai oleh negara, dengan sisa modal dibagi di antara sekitar 90 organisasi, termasuk perusahaan terkemuka negara di bidang telekomunikasi Orange, perusahaan pertahanan Thales , pembuat perangkat lunak Sopra Steria dan perusahaan konsultan IT Atos dan Capgemini.