Saling Sindir, Ini Kronologi Komisi VII DPR Usir Dirut Krakatau Steel dari Rapat
JAKARTA - Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim diusir dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR. Pengusiran itu terjadi setelah Silmy saling sindir dengan Wakil Ketua Komisi VII DPR Bambang Haryadi selaku pimpinan rapat.
Pada rapat yang berlangsung Senin, 14 Februari, awalnya Silmy dimintai penjelasan mengenai pabrik baja blast furnace, impor baja hingga progress smelter di Kalimantan Selatan.
Masalah berawal dari permintaan Silmy, yang ingin menghentikan proyek blast furnace karena dinilai mangkrak dan merugi .
"Setelah beroperasi kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya atau dengan kata lain rugi. Dengan izin Kementerian BUMN kemudian konsultasi dengan BPK dengan kajian lembaga independen kita putuskan dihentikan operasinya," ujar Silmy dalam rapat.
Menanggapi pernyataan Silmy, pimpinam rapat sekaligus Wakil Ketua Komisi VII Bambang Haryadi menilai pernyataan tersebut tidak sejalan dengan komitmen pemerintah yang ingin memperkuat industri baja dalam negeri.
"Tadi dibilang ini, ini unik, dagelan aja pagi-pagi. Tadi Pak Dirut bilang KRAS untung. Jelas blast furnace beroperasi sejak 11 Juli 2019. Jadi diakui sudah beroperasi dan ada semangat seperti presiden kita bahwa ingin memperkuat produksi baja dalam negeri," kata Bambang.
"Ini gimana pabrik blast furnace ini dihentikan tapi mau memperkuat produksi dalam negeri. Ini jangan maling teriak maling. Jangan kita ikut bermain pura-pura tidak ikut bermain," sambungnya.
Silmy pun mempertanyakan maksud dari pernyataan 'maling' yang dilontarkan oleh Bambang.
"Maksudnya, maling bagaimana pak?," tanya Silmy.
Bambang pun menjelaskan apa yang dimaksud yakni di satu sisi ada semangat untuk memperkuat industri, tetapi di satu sisi industri tersebut malah dihentikan.
"Lah kita dalam artian Anda menyatakan ingin memperkuat tapi di satu sisi Anda ingin hentikan. Jadi kita ini mana semangat untuk memperkuatnya?" timpal Bambang.
Bambang juga langsung menujukkan dugaan kasus pemalsuan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diduga dilakukan oleh pengusaha Kimin Tanoto. Kasus ini, menurut Bambang, sempat ditangani Polda Metro Jaya. Namun, tidak ada penyelesaiannya.
"Kalau dengan cara-cara begini, kasus baja yang ada di Polda Metro, sampai sekarang mana. Kami minta penjelasannya. Itu salah satu anggota Anda namanya Kimin Tanoto," ujar Bambang.
Silmy pun menyangkal dan mengatakan bahwa dirinya tidak bisa memberi penjelasan terkait hal tersebut. Sebab, dirinya hadir sebagai Dirut Krakatau Steel.
Perdebatan makin memanas dan memuncak ketika Bambang merasa tersinggung karena Silmy menyela pendapatnya. Ia merasa sikap Silmy sebagai sikap yang menantang yang akhirnya berujung pengusiran dari ruang rapat.
"Ada teknis persidangan, Anda tidak pernah bisa menghargai komisi. Anda keluar," kata Bambang.
Mendapat pengusiran tersebut, Silmy langsung mengatakan jika harus keluar, dirinya akan keluar dari ruang rapat Komisi VII DPR.
"Kalau memang harus keluar ya kita keluar," ujar Silmy.
Baca juga:
Menanggapi pengusiran Dirut KS, Anggota DPR Komisi VII Adian Napitupulu menyarankan rapat rehat sejenak dan gelar pembicaraan terbatas di ruang pimpinan. Apalagi, kata Adian, persoalan impor baja merupakan kepentingan kedaulatan sehingga perlu ada semua pihak, agar seluruh permasalahan impor industri baja dapat diinvestigasi tidak hanya sepihak tapi dari sisi regulator juga.
"Rapat ini belum komplit. Kalau Rapat ini mau tertutup sama panggil pihak-pihak yang lain misalnya Kemenkeu, kenapa banyak baja impor yang masuk? Apa yang didapat dari pajak impor, karena semua saling terkait kita tidak bisa sepihak menyalahkan mereka yang jadi trader. Regulator juga harus dikumpulkan," ucap Adian.
Sekadar informasi, blast furnace merupakan salah satu proyek Krakatau Steel yang sempat memicu polemik. Biang kerok permasalahan di Krakatau Steel adalah mangkraknya proyek blast furnace senilai 850 juta dolar AS.
Mangkraknya proyek tersebut membuat utang yang dimiliki Krakatau Steel mencapai 2 miliar dolar AS. Namun sejak 2019, perseroan mulai melakukan restrukturisasi utang senilai 2,2 miliar dolar AS atau setara Rp31 triliun.
Bahkan, Menteri BUMN Erick Thohir beberapa waktu lalu juga sempat menyebut ada bau korupsi dalam proyek tersebut.
"Krakatau Steel itu dia punya utang 2 miliar dolar AS. Salah satunya investasi 850 juta dolar AS, itu tidak bagus, pasti ada indikasi korupsi," ujarnya dalam diskusi daring 'Bangkit Bareng', Selasa, 28 September 2021.
Kata Erick, Kementerian BUMN pun akan menelusuri dugaan tindak kejahatan tersebut. Erick mengatakan penegakan hukum bagi bisnis yang salah harus diperbaiki.
"Dan kita akan kejar, siapa pun yang merugikan. Karena ini kembali, bukannya kita ingin menyalahkan, tetapi penegakan hukum kepada bisnis proses yang salah kita perbaiki," tuturnya.