Pemotongan Anggaran Banjir oleh Anies Dinilai Tidak Tepat
JAKARTA - Pada bulan November 2019 lalu, Tim Anggaran Pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan pemotongan anggaran pembebasan lahan waduk dan sungai untuk pengendalian banjir sebesar Rp500 miliar dengan alasan defisit anggaran Pemerintah DKI Jakarta.
Hanya saja, berkaca atas banjir yang melanda Jakarta di penghujung tahun 2020, pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah justru menilai kebijakan ini menjadi tidak tepat.
Dia menilai, anggaran untuk pengendalian banjir harus segera ditambah mengingat hingga saat ini masih banyak kerja yang harus dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk mengantisipasi bencana banjir terus terjadi.
"Dalam menyikapi banjir ini, Pak Anies pertama-tama tentu harus melaksanakan program (pengendalian banjir) yang sudah ada di dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020. Nah tapi anggaran di program itu dipotong Rp500 miliar kalau saya tidak salah, seharusnya ditambah, sehingga program bisa dilakukan serentak seperti menambah sumur resapan, drainase, dan pembuatan waduk, normalisasi segera dilaksanakan," kata Trubus saat dihubungi wartawan VOI lewat sambungan telepon, Kamis, 2 Januari.
Selain soal penambahan anggaran yang sudah keburu dipotong, Trubus juga mengatakan Anies harus siap melakukan kebijakan yang tidak populis seperti melakukan relokasi terhadap warga yang tinggal di pemukiman liar sekitar bantaran kali sebagai langkah normalisasi. "Warga di bantaran sungai juga harus segera direlokasi," tegas dia.
Pengamat ini juga mengatakan, Anies Baswedan juga harus duduk bersama dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah penyangga sekitar Ibu Kota seperti Pemprov Jawa Barat dan Banten.
Hal ini penting menurutnya, mengingat sejauh ini, Trubus menilai duduk bersama dan berdiskusi soal pengendalian banjir tak pernah dilakukan Anies bersama pemerintah provinsi lain dan pemerintah pusat.
Selain itu, dia juga menyoroti seringnya Anies mencopot anak buahnya jika ada peristiwa yang menghebohkan. Hal ini, kata Trubus menyebabkan kurang maksimalnya Pemprov DKI Jakarta menjalankan program mereka termasuk program pengendalian banjir.
"Koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah penyangga belum ada. Kemudian penanganannya dari hulu dan hilir juga tidak optimal akhirnya sampai ke tingkat bawah banyak program tidak berjalan. Ini bisa juga karena berkali-kali kepala dinas diganti jadi (program) tidak berjalan optimal," jelas dia.
Sehingga ke depan, Trubus mengatakan melakukan normalisasi atau naturalisasi kali dan pembangunan daerah serapan air harus segera dilakukan oleh Anies dan jajarannya agar banjir tak kembali terjadi di Jakarta.
Selain Trubus, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga juga menyatakan hal yang serupa terkait normalisasi kali. Menurut Yoga, normalisasi ini bisa dilakukan dengan melakukan penataan di kawasan bantaran kali serta kawasan di sekitar danau maupun situ atau tempat penampungan air lainnya.
"Dalam jangka menengah pencegahan banjir bisa dilakukan dengan cara pertama, relokasi besar-besaran permukiman di tepi bantaran kali dan tepi situ, danau, embung atau waduk ke Rusunawa terdekat," kata Yoga kepada wartawan VOI lewat pesan singkat, Kamis, 2 Desember sambil menambahkan ada sekitar 109 titik danau maupun situ di sekitar wilayah DKI Jakarta yang perlu segera dilakukan normalisasi.
Selain normalisasi atau naturalisasi bantaran kali dan ratusan danau atau embung, Yoga juga menegaskan perbaikan saluran air juga harus dilakukan oleh dinas terkait. "Rehabilitasi saluran air segera secara bertahap bsamaan dengan revitalisasi trotoar yang sedang dilakukan Bina Marga," tegasnya.
Tak hanya itu, untuk mempercepat resapan air dari hujan yang terus terjadi, Pemprov DKI Jakarta dan jajarannya diharap mempercepat pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) dari yang luasnya hanya 9,98 persen menjadi 30 persen.
Sedangkan untuk langkah jangka cepat Pemprov DKI Jakarta pasca bencana banjir melanda, Yoga mengatakan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan jajarannya harus memastikan tempat evakuasi bekerja secara optimal membantu para korban banjir.
Selain itu, Anies dan jajarannya juga harus segera mengevaluasi pemukiman yang terdampak banjir dan memutuskan rencana selanjutnya. "Misal jika ada pemukiman di bantaran kali terdampak banjir, pastikan untuk di relokasi segera tahun ini juga," ujarnya.
Terkait normalisasi, Anies sudah angkat bicara sebelumnya. Menurut dia, normalisasi sebenarnya tak banyak mempengaruhi ada atau tidaknya banjir di Jakarta. Hal ini dia sampaikan setelah 'disentil' oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono yang kecewa karena normalisasi Kali Ciliwung baru berjalan sepanjang 16 kilometer.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) era Kabinet Kerja ini mengatakan, sumber masalah banjir justru bukan berada pada normalisasi namun, ada pada pengendalian air. Bagi dia, selebar apapun lahan yang dibebaskan jika tidak ada pengendalian air dari Selatan maka Jakarta akan tetap terendam banjir.
"Mohon maaf Pak Menteri saya harus berpandangan karena tadi bapak menyampaikan. Jadi, selama air dibiarkan dari Selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari Selatan. Maka apa pun yang kami lakukan di pesisir, termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya," ucapnya kepada Basuki saat konferensi pers di Kawasan Monas, Jakarta Pusat, Rabu, 1 Januari.
Padahal menurut Basuki, daerah sekitar Kali Ciliwung yang sudah dinormalisasi terlihat tak tergenang banjir. Kondisi itu nampak berbeda dengan wilayah yang belum dinormalisasi.
"Di 16 km itu kita lihat Insya allah aman dari luapan, tapi yang belum dinormalisasi tergenang," ungkap Basuki saat mengungkapkan kekecewaannya pada Anies Baswedan usai melakukan pengecekan titik-titik banjir di Jakarta dan sekitarnya dengan menumpang helikopter.