Indonesia Bakal Beli F-15 AS Setelah Borong Jet Tempur Rafale Prancis, Ini Kata Mantan KSAU Chappy Hakim
JAKARTA - Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dinilai oleh Marsekal TNI (purn) Chappy Hakim sebagai sosok yang paling tahu, mengenai kebutuhan pertahanan udara Indonesia saat ditanya pendapatnya mengenai rencana pembelian puluhan pesawat jet tempur canggih dari mancanegara.
Departemen Luar Negeri AS telah menyetujui potensi penjualan 36 pesawat F-15ID dan peralatan terkait ke Indonesia dalam kesepakatan senilai hingga 13,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp199.435.810.000.000, kata Pentagon, mengutip Reuters 11 Februari.
Kemarin, Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto mengatakan Indonesia akan membeli 42 jet tempur Rafale dalam kesepakatan senilai 8,1 miliar dolar AS atau setara 116.217.990.000.000 yang ditandatanganinya bersama Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly, sebagai bagian dari serangkaian perjanjian yang juga termasuk pengembangan kapal selam.
"Kepala Staf Angkatan Udara yang paling tahu kebutuhan pertahanan udara Indonesia saat ini," ujar mantan KSAU Marsekal TNI (purn) Chappy Hakim saat ditanya pendapatnya mengenai rencana pembelian ke-78 jet tempur tersebut saat dihubungi VOI Jumat 11 Februari.
Desember lalu, Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo memastikan Indonesia akan membeli jet tempur genersai 4,5 Dassault Rafale besutan Prancis dan F-15 besutan Amerika Serikat.
"Kami menginginkan pesawat generasi 4,5 dan menginginkan yang 'heavy' atau medium ke atas. Karena saat ini kita sudah ada F-16 sudah ada Sukhoi buatan Rusia," ujar Marsekal Fadjar ketika itu seperti melansir Antara 22 Desember.
Pilihan kepada jet tempur Rafale dan F-15 juga membuat Indonesia menangguhkan rencana pembelian jet tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia.
'Sukhoi Su-35 dengan berat hati ya kita harus sudah meninggalkan perencanaan itu karena kan kembali lagi dari awal kita sebutkan, bahwa pembangunan kekuatan udara sangat bergantung dari anggaran," jelas Marsekal Fadjar.
Terkait pesawat, Marsekal Chappy Hakim mengatakan, untuk jet tempur yang ada saat ini, kemampuannya ini tidak bisa dibandingkan satu dengan yang lainnya secara apple to apple. Karena, menurutnya pesawat itu sub sistem, dari sebuah sistem yang besar, di mana ada radar, pemandu hingga persenjataan.
"Jadi tidak bisa dibandingkan pesawat buatan Prancis, pesawat buatan Amerika Serikat, pesawat buatan Rusia," terangnya.
Abituren Akademi Angkatan Udara 1971 ini menerangkan, jika berbicara 20 tahun lalu, orang mungkin akan berbicara jet tempur F-35, F-22, Sukhoi dan sebagainya. Sekarang orang bicara drone.
Baca juga:
- Amerika Serikat Setujui Potensi Penjualan 36 Jet Tempur F-15ID ke Indonesia Senilai 199 Triliun
- Sindir Tuntutan Inggris untuk Tarik Pasukannya, Menlu Lavrov: Tentara Rusia Selalu Pulang Usai Latihan, Tidak Seperti NATO
- Bakal Bangun 14 Reaktor Nuklir Baru, Presiden Macron: Kebangkitan Industri Nuklir Prancis
- Menlu Retno Telepon Menlu Rusia Lavrov, Indonesia Serukan Semua Pihak Menahan Diri Terkait Krisis Perbatasan Ukraina
Dikatakannya, negara-negara pembuat jet tempur juga dilanda kebingungan, mau kembangkan jet tempur atau drone. Sekarang eranya drone untuk menyerang jarak jauh. Daripada pakai pesawat dengan risiko ada awak tertembak. Lebih memilih drone yang tanpa awak dan dikendalikan dari jauh.
"Sekarang negara-negara maju itu tidak lagi sekadar angkatan udara, tapi sudah angkatan luar angkasa. Karena semua mengandalkan teknologi, kecerdasan buatan, seperti artificial intelligence, GPS," paparnya.
"Percuma pesawat keren-keren, bawa rudal, tapi sistemnya dimatikan, ngga bisa beroperasi. Sekarang orang membangun kekuatan militer itu tidak lagi angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara. Tetapi angkatan perang dengan sistem operasi terintegrasi jadi satu," tandasnya.