Sejarah Hari Ini, 13 Februari 1755: Kerajaan Mataram Islam Dipecah Dua Akibat Perjanjian Giyanti
JAKARTA - Hari ini 267 tahun yang lalu, atau tepatnya 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangi. Penandatangan Perjanjian Giyanti adalah muasal terpecahnya Kerajaan Mataram Islam jadi dua: Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Maskapai dagang Belanda, VOC ada di baliknya. Semua itu karena VOC memainkan ajiannya yang populer: Devide at Impera (politik pecah belah).
Maskapai dagang Belanda VOC pernah berseteru hebat dengan kerajaan Mataram. Keduanya bahkan sempat berperang pada 1628-1629 di Batavia. Kala itu, kekuatan Mataram yang sohor sebagai penguasa tanah Jawa berhasil dijinakkan oleh VOC.
Namun, peperangan itu justru menyadarkan VOC kepada ragam hal. Termasuk peperangan membuat mereka sadar bahwa biaya berperang justru terlampau besar. VOC putar otak. Strategi Devide at Impera lagi-lagi jadi ajiannya dibanding opsi perang. Keputusan itu mujarab karena VOC dapat berkembang karenanya. Termasuk dalam menjinakkan Mataram.
VOC bahkan berani menjadi penengah dari konflik pertikaian tiga calon pewaris takhta Kerajaan Mataram. Pangeran Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Di dalamnya, VOC mencoba membujuk Pangeran Pakubuwono II untuk mau membagi wilayah kekuasaan dengan Pangeran Mangkubumi.
Pembagian itu dilegitimasi dengan sebuah perjanjian. Perjanjian Giyanti namanya. Sebuah perjanjian yang tak cuma membuat Mataram pecah jadi dua --Surakarta dan Yogyakarta--, tapi juga mengurangi peluang Mataram dapat tumbuh besar seperti sedia kala. Perjanjian itu pun disaksikan sendiri oleh ketika pihak. VOC diwakili oleh Nicolas Hartingh, Pangeran Pakubuwono III, dan Pangeran Mangkubumi.
“Pada tahun 1755, Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi) pindah ke Yogya. Dia membangun sebuah istana di sana pada tahun 1756, dan memberikan kota ini sebuah nama baru, Yogyakarta. Tetapi, sultan baru ini menghadapi rintangan-rintangan berat. Masih ada raja lain di Surakarta, Pakubuwono III. Masalah yang timbul akibat kehadiran dua raja, karena teori legitimasi Jawa didasarkan pada pemerintahan hanya seorang raja yang memiliki kekuatan supranatural, tidak dapat diselesaikan selama beberapa dekade.”
“Agaknya, Hamengkubuwono I berpikir bahwa Pakubuwono IIl tidak akan bertahan lama, karena pada tahun 1755 hampir tidak seorang pun pembesar di Surakarta yang mendukungnya. Akan tetapi, setelah Perjanjian Giyanti, banyak pembesar kerajaan, yang sebelumnya kabur dari istana, kembali ke Surakarta. Untuk pertama kalinya, Pakubuwono III menjadi saingan berat dalam mencari dukungan golongan elite. Hal ini mengawali suasana permanennya perpisahan kedua istana tersebut,” tutup Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia modern 1200-2004 (2005).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.