Akan Dilakukan dalam Dua Tahap, PLN Siap Konversi 250 MW Pembangkit Diesel ke Surya di 2022
JAKARTA - PT PLN (Persero) berusaha meningkatkan porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan melakukan konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke pembangkit EBT di Indonesia.
Dibagi dalam dua tahap, tahun ini PLN menargetkan akan mengonversikan sampai dengan 250 Megawatt (MW) PLTD yang tersebar di beberapa titik di Indonesia.
Nantinya, PLTD ini akan diganti menggunakan PLTS baseload, yang artinya ada tambahan baterai agar pembangkit bisa beroperasi 24 jam.
“Saat ini kami sedang melakukan lelang dalam satu dua bulan ini. Saat ini sudah ada 160 peserta yang eligible,” ujar Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo yang dikutip Selasa, 1 Februari.
Darmawan menyatakan, dalam lelang ini PLN membebaskan spesifikasi baterai yang akan dipakai oleh peserta. PLN mengedepankan para peserta bisa meningkatkan inovasi sehingga tercipta baterai yang efisien dan punya keandalan operasi.
“Jadi teknologi mana yang paling andal dan efisien yang paling bagus. Jadi itu yang menang. Ini membangun inovasi,” ujar Darmawan.
Dengan konversi ke PLTS dan baterai, maka kapasitas terpasang di tahap pertama ini bisa mencapai sekitar 350 MW. Sehingga bisa mendongkrak bauran energi terbarukan dan penambahan kapasitas terpasang pembangkit secara nasional.
Sementara itu pada tahap dua, PLN akan mengkonversi PLTD sisanya sekitar 338 MW dengan pembangkit EBT lainnya, sesuai dengan sumber daya alam yang menjadi unggulan di daerah tersebut dan keekonomian yang terbaik.
Untuk rencana konversi ke pembangkit berbahan bakar gas, PLN juga bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dalam upaya konversi ini. Beberapa PLTD yang tahun ini juga digarap bersama PGN mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Program gasifikasi ini menyasar daerah terpencil.
Program ini ditargetkan akan rampung pada 2026 mendatang. Harapannya, sekitar 2.130 titik PLTD yang ada saat ini bisa terkonversi ke pembangkit energi bersih ataupun koneksi ke grid.
Seiring dengan perkembangan teknologi, Darmawan meyakini biaya produksi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia bakal semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit fosil.
Baca juga:
- RUPSLB Pan Brothers Setujui Jaminkan Aset, Ini Deretan Rencana Perusahaan
- Dukung UMKM Naik Kelas, Investree Resmikan Kerja Sama Channeling dengan Bank BJB
- Erick Optimistis Indonesia akan Jadi Negara Ekonomi Terkuat ke-4 di Dunia
- Kian Mudah, BCA Tawarkan Bagi-Bagi Angpao Imlek Cashless Lengkap dengan Kartu Ucapan
Hal ini bisa dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai. Pada tahun 2015 harga PLTS dipatok USD 25 sen per kilowatthour (kWh). Namun saat ini, harga PLTS mampu ditekan berkisar USD 5,8 sen per kWh, bahkan dengan tren saat ini dapat turun dibawah USD 4 sen per kWh.
Sedangkan untuk baterai hari ini harganya mencapai USD 13 sen per kWh yang dulunya sempat di angka USD 50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen.
Harga rata-rata paket baterai tipe Li-ion pada tahun 2020 adalah 137 USD/kWh yang dulunya sempat di angka 668 USD/kWh pada tahun 2013. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen. (“Sumber: BloombergNEF”)
“Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih tapi mahal atau energi kotor tapi murah. Ini bisa dijawab, bahwa dalam kurun waktu energi bersih dan murah bisa dicapai,” pungkas Darmawan.