Kisah Jenderal Hoegeng dan Orangutan Kesayangannya
Jenderal Hoegeng Imam Santoso terlahir dalam keluarga penyayang binatang. Ayahnya gemar memelihara kucing dan burung. Kecintaan itu menurun pada Hoegeng. Hewan peliharaannya bejibun. Orangutan salah satunya. Primata khas Indonesia jadi yang paling disayangi Hoegeng. Saban hari ia senang bercengkerama dengannya. Sang polisi jujur bahkan pernah membuat baju khusus untuk orang utan dengan tulisan: Golongan Monyet (Golmon). Konon, untuk menyindir kelakuan partai berkuasa.
Bagi Hoegeng, keluarga adalah segalanya. Keluarga jadi tempat belajar Hoegeng akan banyak hal. Termasuk menjadi penyanyang binatang. Hoegeng acap kali mendapatkan pelajaran hidup berharga dari ayahnya yang menyukai binatang.
Saban hari Hoegeng senang menyaksikan ayahnya bercengkerama dengan binatang peliharaan di perkarangan rumah. Burung jadi binatang peliharaan yang paling disayanginya. Sebab, perkarangan rumah Hoegeng hampir penuh dengan kandang dan sangkar burung. Jenis burung yang dipelihari ayahnya pun beragam: dari cucak rawa, kenari, tekukur, srigunting, kutilang dan lain-lainnya.
Semua binatang peliharaannya di rawat dengan baik. Kebaikkan ayahnya laksana tanpa batas. Lagi pula ayahnya mampu memelihara kucing dengan jumlah yang fantastis. Tak kurang dari 45 kucing dipelihara ayahnya. Kehadiran binatang peliharaan itu buat rumah Hoegeng tak pernah sepi. Suasananya selalu menyanangkan.
Tanpa sadar kesukaan akan binatang menular pada Hoegeng. Ia menyukai suasana rumah yang didominasi suara binatang. Orang dekatnya pun berkata Rumah Hoegeng bak kebun binatang. Semua karena koleksi binatang peliharaannya variatif. Koleksi binatang peliharaan itu telah dikumpulkan Hoegeng dai semasa menjadi Kepala Djawatan Imigrasi, Menteri, Kapolri, hingga pensiun.
“Yang akan saya kisahkan juga adalah bahwa hobi ayah memelihara binatang dan burung itu menurun pada saya. Di rumah saya di Jakarta saya seolah memliki kebun binatang dan taman burung sendiri. Sebagian malah saya peroleh dari teman-teman yang memahami hobi saya ini. Saya pernah dihadiahi Laksamana (AL) Soedomo dan Hamzah dua ekor orangutan, misalnya.”
“Ada kesenangan dan kedamaian alami mendengar suara-suara burung dan binatang setiap saat seperti di hutan. Sudah tentu yang saya pelihara hanyalah sejauh yang dibenarkan oleh peraturan perundangan dan rasa kemanusiaan. Binatang tertentu dewasa ini sudah sedemikian langka sehingga perlu dikembangbiakkan kembali dan ada yang sebaiknya dikembalikan ke alam bebas,” ungkap Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
Binatang Kesayangan Hoegeng
Koleksi binatang The Smiling General bejibun. Dari burung hingga buaya. Binatang yang paling istimewa menurut Hoegeng adalah orangutan. Koleksinya tak cuma satu, tapi lima ekor. Orangutan tersebut pemberian sejumlah orang. Salah satunya, adalah Panglima Komando Pemulihan dan Keamanan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana (AL) Soedomo.
Sesuai tradisi yang dibangunnya, tiap binatang peliharaan yang diberikan kepada Hoegeng selalu diberikan nama pemberinya. Ia menamakan salah satu orang utannya dengan nama Soedomo. Untuk menghargai orang yang memberi, katanya. Pemberian nama itu kadang kala sering membuat rekan-rekan Hoegeng --yang bertandang ke rumahnya-- tertawa terpingkal-pingkal.
Masalah merawat binatang peliharaan Hoegeng termasuk telaten. Di tengah kesibukannya sebagai pejabat negara, ia dapat menghabiskan waktu bersama hewan kesayangannya. Bahkan, Hoegeng membesarkan orangutannya laksana membesar anak sendiri. Alias penuh cinta kasih. Kecintaan itu yang membuat Hoegeng selalu nyaman berada di rumah.
Sekali saja orang utan itu tak dilihatnya, maka kesedihan melanda Hoegeng. Kisah itu sempat dikisahkan Hoegeng kepada sekretarisnya saat menjadi Menteri Sekretaris Presedium Kabinet dalam kabinet Dwikora II, Soedharto Martopoespito. Kisah itu diceritakan Hoegeng sebelum akhirnya seluruh orangutan dikembalikan ke alam bebas dan dihibahkan ke kebun binatang.
Suatu hari Hoegeng bercerita orang utan peliharaannya lepas ke perkarangan milik tetangga. Pengurus rumah tangganya ikutan panik. Orangutan itu dikejarnya. Alih-alih dapat menangkap, orang utan tersebut malah memilih kabur hingga ke atas genteng tetangga.
Tiada pilihan lain bagi Hoegeng selain ikut turun tangan mengejar orangutan kesayangannya. Ia menuju rumah tetangga. Izin pun didapatnya untuk segera naik ke atas genteng. Nama orangutan itu dipanggilnya berkali-kali. Tapi, berkali-kali pula orangutan tak memberikan respon.
Malahan orangutan miliknya makin menjauh. Usaha lain dilakukan, tapi hasilnya sama saja. Tapi bukan Hoegeng namanya jika mudah menyerah. Ia tak mau frustasi. Ia mencoba putar otak dan bersiaat. Menirukan gaya dan suara monyet jadi ajiannya. Nyatanya Strategi itu berhasil. Orangutannya langsung kembali ke dalam dekapan Hoegeng.
“Hoegeng pura-pura jadi monyet dengan menirukan gaya dan suara monyet, Mas Dharto. Mungkin karena dikira masih ‘saudara’-nya, orangutan itu tiba-tiba mau. Dia mendekat dan minta dipeluk. Hoegeng pun langsung memeluk dan membawanya turun,” kata Hoegeng kepada Soedharto Martopoespito sebagaimana ditulis Suhartono dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (2013).
Golongan Monyet
Kecintaan Hoegeng kepada orangutan kesayangannya makin tahun makin mesra. Orangutan itu kerap memeluk dan manja kepada Hoegeng. Pun Hoegeng sampai kepikiran ide untuk membuat baju khusus untuk orang utan kesayangannya, dalam rangka menyambut pemilu 1971. Hoegeng lalu memberikan tulisan dibaju itu Golmon (Golongan Monyet).
Konon, tulisan Golmon untuk menyindir kelakuan partai berkuasa. Sindiran itu mungkin saja dilakukan mengingat Hoegeng sering kali menyindir Orde Baru (Orba) dan pimpinan, Soeharto. Apalagi setelah Soeharto ingin menjadikan Pancasila sebagai alat pembungkam lawan politiknya. Setelahnya, Hoegeng kemudian bergabung dengan kelompok yang aktif memberikan kritik terhadap Orba, seperti Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) dan kelompok Petisi 50.
“(Orangutan) Yang diberi oleh Pak Domo, ia namakan Soedomo dan satunya lagi dinamakan Sri Utaningsih. Kelima orang utan itu bertahun-tahun mesra, sering memeluk dan manja kepada Hoegeng. Waktu Pemilu ia membuatkan baju dengan tulisan Golmon (Golongan Monyet). Oleh Hoegeng orang utan itu dilepas, tetapi kemudian polisi mengejarnya hingga masuk rumah gedongan,” ungkap Aris Santoso dkk dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya