Jangan Sampai Kisruh Zonasi PPDB Terulang Kembali
JAKARTA - Sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) bakal dilanjutkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Keputusan ini tertuang dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 pada 10 Desember 2019.
Pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai wilayah tempat tinggal di tahun depan dibuat lebih fleksibel. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah.
Hal baiknya, sistem ini memang bertujuan untuk meratakan kualitas pendidikan. Jadi, tak ada lagi sekolah yang dicap sebagai sekolah unggulan dan percontohan.
Tapi tak dapat dipungkiri, sistem zonasi memang memeliki sejumlah masalah. Melihat pengalaman pemberlakuan zonasi PPDB tahun 2019, ketersediaan informasi secara daring atau online dianggap belum tersedia secara transparan.
Kemudian, sejumlah oknum sekolah dengan sengaja telah memetakan daftar siswa yang menjadi prioritas. Lalu, tidak jelasnya peraturan pemerintah dalam menentukan kriteria berprestasi.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menganggap, pemerintah memang belum siap dalam meratakan kualitas pendidikan di Indonesia.
"Tampaknya pemerintah menggunakan jalan pintas dengan memaksanakan dengan membuat kebijakan pemerataan di level hilir dengan sistem zonasi saat PPDB," kata Ubaid dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin, 30 Desember.
Keputusan ini, kata Ubaid, jelas salah alamat. Mengingat, masih banyak sekolah di daerah yang kualitas pendidikannya belum memadai.
Sebaiknya, kata dia, untuk saat ini sistem zonasi dalam PPDB tidak diberlakukan secara nasional, tapi dilakukan dengan model piloting system. Daerah yang sudah dinyatakan siap, boleh memberlakukan model zonasi.
"Jadi, fokus utama saat ini adalah peningkatan dan pemerataan mutu sekolah dan kualitas guru. Termasuk di dalamnya adalah penyelesaian kasus-kasus guru honorer, supaya tidak menjadi dosa kebijakan yang turun-temurun," jelasnya.