Legenda Sosok Hantu di Istana Kepresidenan: Dari Noni Belanda hingga Dyah Pitaloka
JAKARTA - Istana kepresidenan Indonesia acap kali menarik perhatian dunia. Bangunan megah itu multifungsi. Dari tempat tinggal presiden hingga penyambutan tamu negara. Karenanya, segala agenda politik kerap dilanggengkan di berbagai istana milik negara. Cirinya relatif sama, seperti istana kenegaraan masa lampau. Pegelaran seni dan pesta jadi ajian utamanya. Tapi kini kondisi berbeda. Istana Kepresidenan yang umumnya berusia tua dianggap angker. Konon, banyak hantunya: hantu impor dan dalam negeri.
Istana adalah sesuatu yang sering dikaitkan dengan keindahan dan kemegahan. Kadang juga diartikan sebagai “rumah gedongan,” serupa yang ungkap orang Betawi. Boleh jadi pandangan itu tiada yang salah.
Namun, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengungkapkan artian resmi dari istana. Artinya, istana tak lain rumah kediaman resmi raja (kepala negara, presiden) dan keluarganya. Karena itu, segala hal terkait aktivitas melanggengkan kekuasaan dari istana telah berlangsung sejak dulu kala. Kerajaan Nusantara telah melestarikannya. Kemudian pemerintah kolonial Belanda mengikuti.
Pemerintah kolonial Belanda dikenal sebagai biangnya berfoya-foya. Apalagi Gubernur Jenderalnya. Penguasa negeri koloni itu bak pencinta pesta sejati. Pesta dansa sering diadakannya untuk menunjukkan kuasanya. Alias jadi ajang pamer. Pamer keramahan, harta benda, hingga koleksi seni. Kebiasaan Gubernur Jenderal gemar pesta banyak ditulis oleh pelacong yang pernah berkunjung ke Hindia-Belanda.
Justus Van Maurik, salah satunya. Penulis asal Amsterdam itu ikut diundang Gubernur Jenderal Hindia-Belanda untuk mengikuti jamuan makan dan pesta dansa di Paleis Rijswijk atau Istana Rijswijk (kini: Istana Negara). Undangan pesta tak disia-siakan olehnya. Ia mendatangi Paleis Rijswijk dengan setelan terbaik. Pun ia terkesan dengan keramahan pemimpin negeri koloni tersebut.
“Di muka istana yang terang benderang, kereta besar-kecil menurunkan penumpangnya sebelum meluncur ke tempat parkir di belakang. Ketika kami masuk, ruang dalam disinari lampu gas berbentuk mahkota dan lilin-lilin dari tempat lilin gantung. Tamannya dipenuhi lampion warna-warni. Andaikan suhu udara tidak begitu panas, kita serasa berada di ruang dansa di Paris, dengan wanita-wanita cantik yang mengenakan pakaian brokat, satin, sutera, dan perhiasan gemerlapan.”
“Saya terkesan, tetapi sayang kaki saya bukan main sakitnya. Karena didorong sekian banyak orang, saya tidak bisa berhenti untuk memeriksa kaki saya. Akhirnya, tiba juga giliran saya untuk berjabat tangan dengan Gubernur Jenderal, ternyata ia ramah. Setelah berbicara sejenak Yang Mulia meninggalkan tempat kami,” ungkap Justus van Maurik dalam buku Ketoprak Betawi (2001).
Kebiasaan gubernur jenderal Hindia Belanda menyelenggarakan pesta tak cuma berlangsung di Paleis Rijswijk semata. Undangan pesta dansa dan jamuan makan malam sering juga dilangsungkan di Paleis Buitenzorg atau Istana Buitenzorg (kini: Istana Bogor). Kala itu, pelancong asal Inggris, Charles Walter Kinloch yang mendapatkan kesempatan.
Ia berkunjung ke Hindia-Belanda pada 1852. Perjalanannya menyenangkan. Dewi fortuna berada dipihak Kinloch. Ia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Hindia-Belanda langsung mendapatkan undangan pesta dari penguasa negeri koloni.
Undangan itu datang langsung dari Gubernur Jenderal Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Albertus Jacobus Duymaer van Twist (1851-1856). Kesempatan sekali seumur hidup itu begitu membekas baginya. Dalam kata lainnya: tidak dapat dilupakan.
“Kami mendapati semua yang hadir berdiri, para wanita berdiri berjajar di satu sisi ruangan, dan para pria di sisi lain; tak lama kemudian, sebuah pintu dibuka dari ujung jauh ruang resepsi, dan Gubernur Jenderal serta istrinya berjalan perlahan-lahan menuju ruangan. Para wanita dan pria langsung mundur, yang wanita menunjukkan rasa hormat, dan yang pria membungkuk, saat paduka mereka melewati jajaran pria dan wanita tersebut. Sekretaris kemudian berjalan maju dan secara formal memperkenalkan diri kami dan anggota wanita dalam perjalanan kami kepada tuan-nyonya rumah.”
“saat makan malam, kami mendapatkan kehormatan diberi tempat duduk di samping istri gubernur, ‘vis-a-vis’ dengan teman perjalanan wanita kami, yang duduk di sebelah kiri gubernur. Percakapan yang dilakukan sebagian dilakukan dalam bahasa Belanda, dan sebagian dalam bahasa Prancis. Yang Mulia sepertinya agak malu berbicara dalam bahasa Inggris, meski ia sepertinya memiliki pengetahuan yang cukup akan bahasa tersebut,” cerita Charles Walter Kinloch dalam buku Rambles in Java: Pengembaraan di Tanah Jawa (2019).
Hantu-hantu istana
Kegemerlapan acara penyambutan tamu ala pemerintah kolonial Belanda terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Kondisi itu dikarenakan Istana yang dulunya dimiliki oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda mulai diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Total Indonesia memiliki enam buah istana kepresidenan: Istana Negara, Istana Bogor, Istana Tampaksiring, Istana Cipanas, dan Istana Pelabuhan Ratu.
Masalah baru pun muncul. Kebanyakkan istana kepresidenan nyatanya telah masuk usia tua. Desas-desus pun muncul setelahnya. Melalui penuturan dari mulut ke mulut di antara staf kepresidenan, istana-istana itu angker.
Konon, masing-masing istana kepresidenan memiliki hantu. Makhluk halus itu sering kali menakuti penghuni istana. Terutama, Istana Negara. Di sana segenap orang pernah menyaksikan sendiri kehadiran noni-noni Belanda di sekitar Istana Negara.
Istana Bogor pun tak mau kalah. Alkisah di dalam istana terdapat banyak koleksi benda berseni tinggi. Patung batu berwujud wanita “Endang Teratai” karya Edhi Sunarso (seniman Patung Selamat Datang & Pancoran) termasuk di dalamnya. Patung itu sering hilang dari lokasinya di malam-malam tertentu. Akan tetapi, hilangnya patung Endang Teratai kadang tak sendirian. Patung Endang Teratai biasanya hilang bersamaan dengan patung perunggu “Rindu” karya seniman asal Swedia, P. Hasselberg. Demikian pula di Istana Cipanas.
“Di taman luas Istana Cipanas, pada malam tertentu kala purnama, konon kadang melintas seorang wanita amat cantik dalam pakaian tradisional Sunda. Wanita itu berjalan gelisah dan penasaran, dengan postur yang kecewa dan marah. Yang memercayai cerita ini lantas mengaitkannya dengan sejarah hubungan Kerajaan Pajajaran dan Majapahit pada abad ke-14. Diperkirakan bahwa wanita cantik itu adalah Dyah Pitaloka, putri Sri Baduga Maharaja, raja Pajajaran di kawasan Sunda,” terang Agus Dermawan T. dalam buku Karnaval Sahibulhikayat (2021).
Wujud Dyah Pitaloka itu awalnya dianggap gemar bergentayangan di Pelabuhan Ratu. Kemudian, belakangan muncul di Istana Cipanas. Kondisi itu tak jauh beda dengan yang suasana angker di Istana tampaksiring. Istana yang menjadi tempat favorit Soekarno menyusun pidato-pidatonya memiliki rumor menyeramkan. Banyak hantu berjenis leak hadir di sana.
Lebih lagi, Istana tampaksiring banyak menyimpan karya seni tinggi berupa patung-patung. Oleh orang banyak, patung-patung itu dianggap sebagai medium utama masuknya arwah-arwah. Lantaran itu pada malam tertentu konon banyak yang menyaksikan patung-patung itu seraya hidup dan menyeluarkan suara.
Banyak pula yang berpercaya dengan desas-desus hantu di istana kepresidenan. Banyak juga menganggap kehadiran hantu hanya sepi saja. Kristiani Herrawati atau yang lebih dikenal Ani Yudhoyono salah satunya.
Ibu Negara dari Presiden Indoensia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono tak percaya oleh banyaknya hantu yang bergentayangan di istana kepresidenan. Alih-alih takut hantu, Ani Yudhoyono justru menjadikan keenam istana kepresidenan sebagai tempat belajar sejarah yang paling berkesan. Banyak benda sejarah dan karya seni bernilai tinggi hadir di seluruh istana kepresidenan.
“Bahkan, berkat panduan dari tim Setpres saya akhirnya terdorong untuk mencari buku-buku tentang istana kepresidenan di Indonesia. Saya menjadi tahu berbagai hal di seputar istana. Wah, dahsyat. Benar-benar luar biasa sejarah yang ada di balik keberadaan enam istana kepresidenan yang kita miliki. Griya yang menjadi cermin dari kewibawaan negara.”
“Bangunan yang merekam jejak sejarah selama berabad-abad lamanya. Sungguh agung. Jadi, buat apa takut sama hantu? Malah saya tertantang untuk menyusuri istana-istana lainnya dan menginap di sana!” tutup Ani Yudhoyono sebagaimana ditulis Alberthiene Endah dalam buku 10 Tahun Perjalanan Hati (2018).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya