Terungkap! Francis Ngannou Dibayar Minim di UFC 270, Monopoli Jadi Kunci

JAKARTA - Duel Francis Ngannou vs Ciryl Gane dalam pergelaran UFC 270, perebutan gelar juara kelas berat UFC di Honda Center, Anaheim, California pada Sabtu 22 Januari 2022 atau Minggu di Indonesia menyita perhatian besar dari pencandu MMA di seluruh dunia. Namun, bagaimana dengan bayaran keduanya yang tampil dalam partai utama pergelaran UFC 270 itu? Apakah mereka mendapatkan bayaran setimpal, jutaan dolar AS dari keriuhan yang ditampilkan?

Ngannou vs Gane yang diberitakan secara besar-besaran di hampir seluruh belahan dunia, dimenangi oleh Ngannou lewat kemenangan angka 5 ronde. Tiga hakim yang memberikan penilaian 48-47, 48-47, dan 49-46. Ngannou tetap bertahan sebagai juara kelas berat UFC.

Menurut rilis yang dikeluarkan California State Athletic Commissions (CSAC) sebagai pengawas aktivitas olahraga profesional di negara bagian tersebut, bayaran yang diterima Ngannou maupun Gane tidak menyentuh angka 1 juta dolar AS. Sebagai juara bertahan, Ngannou dibayar 600 ribu dolar AS (sekitar Rp 8,6 miliar) sementara Gane sebagai penantang mendapatkan 500 dolar AS (sekitar Rp 7,6 miliar). Tidak dilaporkan keduanya mendapatkan tambahan bayaran atau bonus.

Francis Ngannou menghindari pukulan Ciryl Gane dalam duel UFC 270 (foto:Chris Unger/Zuffa LLC)

Bayaran Ngannou hanya berselisih 20 ribu dolar AS dari yang dia terima saat merebut gelar juara, tahun lalu. Ngannou, petarung asal Kamerun berusia 35 tahun yang kini menetap di Las Vegas menang KO atas juara sebelumnya, Stipe Miocic (AS) dalam duel di Las Vegas, AS pada 27 Maret 2021.

Gane sedikit lebih beruntung, karena bayarannya meningkat 150 ribu dolar AS dari duel terakhirnya. Petarung berkebangsaan Perancis itu menang TKO atas Derrick Lewis dari AS dalam perebutan gelar juara interim kelas berat UFC di Houston, Texas pada 7 Agustus 2021. Status sebagai juara interim membawa Gane menantang Ngannou.

Dibandingkan Tinju Kalah Jauh

Sebagai pembanding, jumlah bayaran yang diterima Ngannou dan Gane dapat disandingkan dengan Tyson Fury dan Deontay Wilder. Fury adalah juara dunia tinju kelas berat versi WBC saat ini, sedangkan Wilder adalah mantan juara. Fury tiga kali bertarung melawan Wilder, masing-masing di tahun 2018, 2020, dan 2021. Dalam tiga laga tersebut keduanya menerima masing-masing di atas 20 juta dolar AS (Rp 286,7 miliar).

Pertarungan tinju dunia kelas berat terakhir, perebutan gelar juara WBA/IBF/WBO antara Anthony Joshua vs Oleksandr Usyk di London, Inggris pada 25 September 2021, juga menunjukkan bayaran jauh di atas yang diterima Ngannou dan Gane. Joshua yang saat itu adalah juara bertahan menerima 13,6 juta dolar AS (Rp 195 miliar), sementara Usyk sebagai penantang dibayar 4,1 juta dolar AS (Rp 58,7 miliar).

Ketika disinggung soal bayaran, kepada ESPN Ngannou mengatakan bahwa duel melawan Gane adalah kali terakhir dia dibayar dalam angka di bawah jutaan dolar oleh UFC.

“Saya tidak akan lagi bertarung untuk bayaran 500 atau 600 ribu dolar. Saya menerima tawaran pertarungan melawan Gane karena alasan personal. Saya ingin memastikan bahwa memang tidak ada kepedulian di sini, bahkan bisa disebut ketidakadilan. Ada perlakuan yang salah dari UFC terhadap saya. Saat ini kewajiban saya hanya menyelesaikan sisa kontrak delapan pertarungan,” ujar Ngannou.

Francis Ngannou membanting Ciryl Gane dalam duel di UFC 270 (foto: Chris Unger/Zuffa LLC)

Kontrak Ngannou dengan UFC dimulai  Desember 2017 saat dia hendak menghadapi petarung MMA asal Belanda, Alistair Overeem. Kontrak tersebut berdurasi 5 tahun, dengan jumlah 9 pertarungan. Kontrak tersebut akan otomatis diperpanjang setahun jika Ngannou masih berstatus juara dunia versi UFC, karena di dalamnya ada “klausul juara”. Ngannou sekarang punya pilihan, bertarung lagi di bawah promosi UFC untuk setahun ke depan atau diam saja tanpa tampil di oktagon sampai Desember 2022.

“Kontrak UFC sangat njelimet. Itulah sebabnya kita bisa terikat kontrak selama 40 bulan, dan pada tahun keempat kita masih ada dalam perjanjian kontrak yang sama tanpa perubahan apapun meskipun terus menerus bertarung. Saya sudah menyelesaikan kewajiban, dan jika UFC tidak menyodorkan kontrak dengan nilai yang baru maka saya tidak akan bertarung,” kata Ngannou lagi.

Padahal seharusnya Ngannou dan Gane bisa menerima bayaran lebih besar dari itu jika ada pembagian dari keuntungan-keuntungan yang lain, misalkan dari tiket maupun pembelian siaran televisi berbayar. Harga siaran televisi bayar per tayang pertarungan UFC 270 Ngannou vs Gane dipatok 75 dolar AS. Belum ada data soal jumlah total penjualan saluran tayangan duel Ngannou vs Gane di UFC 270, namun The Mirror memperkirakan yang terjual paling tidak ada 1 juta saluran. Itu berarti pemasukan dari siaran televisi minimal mencapai 75 juta dolar AS, atau sekitar Rp 1 triliun.

Kebijakan Monopoli

Tudingan soal minimnya bayaran para petarung di UFC lantas ditujukan kepada kebijakan monopoli yang diterapkan menajemen UFC, di bawah komando Dana White. UFC saat ini adalah usaha kepromotoran MMA profesional paling sukses di dunia. Mereka tak punya pesaing dekat, sehingga dengan mudah dapat mengatur para petarung yang bernaung di bawahnya.

“Tinju bisa mengeduk bayaran lebih tinggi karena ada banyak persaingan promotor di dalamnya, sehingga petinju bisa pasang harga. Sementara di MMA hanya ada UFC yang terbesar, sehingga mereka bebas mengatur pertarungan, siapa bakal juara, dan banyak lagi. Sementara di tinju, seorang petinju punya banyak pilihan karena ada banyak promotor dan badan tinju,” kata promotor tinju asal AS, Gary Shaw.

“Di MMA, seorang petarung menjadi milik UFC atau promotor lain. Tetapi UFC lah yang terhebat, sehingga petarung yang sudah berada di dalamnya tak punya pilihan. Kalau dia keluar UFC, bayaran yang diterima dari promotor MMA lain bakal jauh lebih kecil,” kata Shaw melanjutkan.

Monopoli dalam UFC semakin menjadi-jadi setelah perusahaan kepromotoran itu memiliki kontrak eksklusif dengan perusahaan alat olahraga asal Inggris, Reebok. Kontrak tersebut dimulai sejak 2014 selama enam tahun, senilai 70 juta dolar AS atau sekitar Rp 1 triliun.

Sebanyak 60 persen dari nilai kontrak tersebut dibayarkan oleh Reebok kepada para petarung yang tampil sedangkan sisanya menjadi milik UFC. Total selama 6 tahun kontrak, Reebok membayarkan hampir 40 juta dolar AS kepada petarung. Sebagai konsekuensi, para petarung MMA di UFC tidak diizinkan memasang logo sponsor lain pada celana pertarungan maupun anggota tubuh mereka.

Menurut pengamat MMA, Tomislav Sivanovic, pelarangan sponsor pribadi tersebut merugikan petarung setidaknya 20 ribu dolar AS (Rp 286,8 juta) per pertarungan. Jika dalam setahun mereka bisa bertarung hingga tiga atau empat kali, maka mereka akan kehilangan 60 ribu sampai 80 ribu dolar AS setahun.

“Saya tidak puas dengan cara UFC mengurus soal sponsor. Kami para petarung menjadi seperti diperbudak. Kami dilarang membawa sponsor pribadi ke dalam oktagon, sehingga kami tidak punya apa-apa lagi. MMA adalah olahraga pertarungan, dan rasanya tidak adil jika seorang petarung hanya menerima 500 dolar AS dengan konsekuensi wajahnya remuk kena sikut,” Vitor Belfort, petarung asal Brasil yang pernah menjadi juara kelas berat UFC.

Conor McGregor saat melawan Floyd Mayweather Jr (foto: MMA Fighting)

Saat ini kondisi belum berubah, karena setelah kontrak dengan Reebok selesai pada Desember 2020 UFC mengikat kontrak baru dengan aparel olahraga pertarungan Venum. Kontrak eksklusif tersebut dimulai pada April 2021 dengan klausul yang tidak jauh berbeda dengan Reebok, namun berdurasi lebih singkat.

Masalah bayaran minim memang selalu menjadi isu panas berkaitan dengan UFC. Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka Francis Ngannou bukan mustahil akan menjadikan UFC 270 sebagai laga terakhirnya, dan berpindah ke cabang olahraga pertarungan lain demi meraih lebih banyak pundi-pundi dolar seperti yang dilakukan Conor McGregor.